BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk beberapa pengertian:
a. Nasikh, dapat bermakna ‘izalah (menghilangkan).
b. Nasikh dapat bermakna tabdil (mengganti/menukar).
c. Nasikh dapat bermakna tahwil (memalingkan).
d. Nasikh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. [1]
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan
menjadi pengertian terminologis. Perbedaan terma yang ada antara
ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan
masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil
syar'i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang
mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah
ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan
berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak
dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup
pengertian pembatasan bagi suatu pengertian bebas
(muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan
(makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan
juga pengertian pengecualian (istitsna).
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan
pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara
nasikh dan makhasshish, muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga
pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang
kemudian, untuk mencabut atau menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang
terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah
ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan
ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu
pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian,
dan di lain pihak dalam perkembangan selanjutnya naskh membatasinya
hanya pada satu pengertian[2].
B. RUKUN DAN SYARAT NASIKH
Sesuai dengan sistematisasi interpretasi dalam
ilmu hukum, hubungan antara ketentuan hukum satu dengan yang lainnya
harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara
satu ayat dengan ayat lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, ada
beberapa rukun dan syarat yang harus diterapkan:
1. Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasikh,
yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada
hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat
hukum dan menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat naskh:
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3. Pembatalan
hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum,
seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinasikh
setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian. [3]
C. JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin disoroti dalam bagian ini
ialah adanya naskh antara satu syari'at dengan syari'at lainnya.
Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara syari'at hukum agama
Islam dengan syari'at Nabi Isa as yang
lebih dahulu ada. Dalam hubungan ini, dapat kita
katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at,
dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena
syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan semua
hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan
kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw. [4]
Jika sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar
syari'at, di dalam satu syari'at juga
terjadi nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang
lainnya. Kembali pada syari'at Islam sendiri,
akan menemui beberapa kasus. Seperti Sesudah hijrah ke Madinah, kaum
Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan
kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain. Keharusan berkiblat ke arah
Bait al-Haram[5].
Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus-kasus yang
digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Di bidang lain
ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hokum pembelaan
diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut berimplikasi bahwa
memang terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam
syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang sudah berlaku, kemudian
dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan
hukum lain.
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas,
menyangkut segi formalnya. Jenis lain yang menyangkut segi
materialnya, ada yang
bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimmi). Untuk yang
bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya
hukum kiblat. Ketentuan yang nasikh
(pengganti) ditetapkan secara jelas. Sedangkan contoh lain
misalnya hukum
ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, pernah dilarang
dalam melakukan ziarah kubur. Selanjutnya, ayat itu ternasikh
oleh ayat yang membolehkannya seorang ziarah
kubur. Berbeda dengan hal tersebut diatas,
nasikh yang bersifat dlimmi tidak memuat penegasan
didalamnya bahwa ketentuan yang mendahuluinya tercabut, tetapi
isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya.[6]
D. MACAM-MACAM NASIKH
1. Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran
Ulama Sepakat Mengatakan ini diperbolehkan. Demikian
juga mengenai jatuhnya. Umpama menurut ayat masa iddah bagi perempuan
itu lamanya satu tahun. Ayat iddah ini ternasikhkan oleh ayat lain. Masa
iddah itu cukup empat bulan sepuluh hari.
2. Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:
Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Ahad.
Menurut jumhur tidak diperbolehkan, karena Al-Quran itu mutawatir, harus
diyakini. Sedangkan hadist ahad masih diragukan.
Kedua, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Mutawatir. Hal ini diperbolehkan menurut imam malik, abu hanifah dan ahmad bin hambal.
3. Sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran
Ini diperbolehkan menurut jumhur. Menghadap sembahyang
ke baitul mukaddis itu ditetapkan oleh sunnah, sedangkan di dalam
Al-Quran tidak ada yang menunjukkan demikian itu. Di sini dinasikhkan
oleh Al-Quran QS 2:144.
4. Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:
1. Mutawatir dinasihkan dengan mutawatir pula.
2. ahad dinasihkan dengan ahad pula.
3. ahad dinasikhkan dnegan mutawatir.
4. mutawatir dinasikhkan dengan ahad. [7]
E. BENTUK-BENTUK NASIKH
Nasikh di dalam Al-quran terdapat tiga bentuk, yaitu:
1. Nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara
Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”,
kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang
diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan
itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
2. Nasikh hukum dan tetap adanya tilawah.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
3. Menasikhkan tilawah disamping tetapnya hukum.
Contoh: lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka
rajamlah keduanya. Pembalasan itu pasti dari Allah. Dan Allah itu maha
Gagah lagi Maha Bijaksana. [8]
F. KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH
Masalah naskh
bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang
berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Dalam kaitan
ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan
naskh. naskh berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan)[9].
Dilihat dari jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika
ditinjau dari segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih nampak.
Tapi bila ditinjau
dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol.
Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya
suatu fungsi pokok bahwa naskh merupakan salah satu interpretasi
hukum.
1. Menjaga kemaslahatan hamba.
2. Pengembangan
pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan
perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian di hapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti
mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan
dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti
kemudahan bagi umat. [10]
G. CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.
1. Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang artinya:
Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur,
sekarang Muhammad telah.mendapat izin untuk menziarahi ke kubur ibunya,
kini berziarahlah kamu ke kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu
mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad,
pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak
kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang
sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh dalam Alquran. Jadi,
berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya
terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang
bersifat asal (pokok). [11]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Nasikh menurut bahasa yaitu mengaitkan
kepada arti yang hilang. Nasikh mengandung beberapa makna yaitu:
menghilangkan, mengganti, memalingkan, dan menukilkan. Sedangkan menurut
istilah, ialah membuang hukum syar’i dengan kitab syar’i. Ulama’
mutaqoddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan
kemudian, tidak hanya untuk ketentuan-ketentuan hukum, tapi juga
mencakup pengertian pembatasan bagi suatu pengertian bebas. Sebaliknya
ulama’ mutaakhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk
mempertajam perbedaan antara nasikh, mukhossim, dan muqoyyid sehingga
pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang
kemudian.
Adapun bagaimana cara mengetahui nasikh adalah
harus melalui banyak jalan, diantaranya: naskh yang sharih dari
Rosulullah SAW, keterangan para sahabat, perlawqanan yang tidak dapat
dikompromikan, serta diketahui tarih turunnya ayat-ayat itu. Masalah
nasikh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang
berada dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu ushul fiqih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar