Senin, 20 November 2017

I' jazul Qur'an

BAB  II
PEMBAHASAN
1.              Pengertian I’jazul Qur’an
Kata i’jaz diambil dari akar kata a’jaza-yu’jizu yang secara harfiyah(bahasa) berarti lemah,tidak mampu,tidak berdaya. Yang dimaksud i’jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang arab untuk  menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Qur’an. Dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.
Adapun Manna Al Qatthan mendefinisikan dengan hal serupa yaitu “amrun khariqun lil’addah maqrunun bit tahaddiy salimun anil mu’aradhah”yaitu suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan,disertai dengan unsur tantangan,dan tidak dapat ditandingi.
Sedangkan Al-Thushi mendefinisikan mu’jizat dengan terjadinya sesuatu yang tidak  bisa terjadi yang disertai dengan pemberontakan terhadap adat kebiasaan dan hal itu sesuai dengan tuntutan. Pengertian ini adalah pengertian mu’jizat dari segi istilah sebagaimana yang diugkapkan Az zarqani,mu’jizat adalah sesuatu yang membuat manusia tidak mampu baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama,untuk mendatangkan yang seperti itu,dan pengertian mu’jizat menurut Dr.Tantowi ialah ilmu yang membahas tentang keunggulan Al-Qur’an dan menyikap ilmu yang ada di dalamya yang dapat diungkap oleh ilmu pengetahuan di era modern.
Sedangkan kalimat I’jazul Qur’an itu seniri merupakan bentuk idhafah,menurut Imam Zarqani “I’jazul Qur’an secara bahasa berarti di tetapkannya Al Qur’an itu melemahkan bagi yang akan menandinginya. Adapun pengertian mu’jizat menurut theology (mutakallimin) adalah munculnya sesuatu hal yang berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di dunia (khariqun adah) untuk menunjukkan kebenaran kenabian (nubuwwah) para ulama[1]
2.                 Sejarah Perkembangan I’jazul Qur’an
Ada ulama yang berpendapat, orang yang pertama kali menulis I’jazul Quran ialah Abu Ubaidah (wafat 208 H) dalam kitab Majazul Quran. Lalu disusul oleh Al-farra (wafat 207 H) yang menulis kitab Ma’anil Quran. Kemudian disusul Ibnu Quthaibah yang mengarang kitab Ta’wilu Musykikil Qur’an
Pernyataan terebut dibantah Abdul Qohir Al-Jurjany dalam kitabnya Dalailul I’jaz, bahwa semua kitab tersebut di atas bukan ilmu I’jazul Qur’an, melainkan sesuai dengan nama judul-judulnya itu.
Menurut Dr. Subhi Ash-sholeh dalam kitabnya Mabahis fi Ulumil Qur’an, bahwa orang yang pertama kali membicarakan ijazul Qur’an adalah imam Al-jahidh (wafat 255 H), ditulis dalam kitab Nuzhumul Qur’an, hal ini seperti diisyaratkan dlam kitabnya yang lain, Al Hayyam. Lalu disusul muhammad bin Zaid Al-wasithy (wafat 306 H) dalam kitab I’jazul Qur’an yang banyak mengutip isi kitab Al-jahidh tersebut di atas. Kmudian dilanjutkan Imam Arrumany (wafat 384 H). Dalam kitab Al-i’jaz yang isinya mengupas segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an. Lalu disusul oleh Al-Qadhy Abu bakar Al-baqillany (wafat 403 H) dalam kitab I’jazul Qur’an , yang isinya mengupas segi-segi kebhalagahan Alquran, di samping segi-segi kemukjizatanya. Kitab ini sangat populer. Kemudian disusul Abdul Qohir Al-jurjany (wafat 471 H) dalam kitab Dala’alul i’jaz dan Asrarul Balaghah.
Para pujangga modern seperti Musthofa Shodiq Ar-Rofi’y menulis tentang ilmu ini dalam kitab Tarikhul Adabil Arabi dan prof. Dr. Sayyid Quthub dalam buku At-tashwirul fanni fil qur’an dan At-ta’birul fanni fil Qur’an[2]
3.                 Tujuan dan Fungsi I’jazul Qur’an
Tujuan ijazul qur’an
a.       membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW yang membawa mukjizat kitab Al-Qur’an itu adalah benar-benar seorang Nabi atau Rasul Allah. Beliau diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran Allah SWT kepada umat manusia dan untuk mencanangkan tantangan supaya menandingi Al-Qur’an kepada mereka yang ingkar
b.      membuktikan bahwa kitab Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu Allah SWT, bukan buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad SAW. Sebab seandainya Al-Qur’an itu buat Nabi Muhammad yang seorang ummi (tidak pandai menulis dan membaca), tentu pujangga-pujangga Arab yang profesional,di mana mereka tidak hanya pandai menulis danmembaca tetapi juga ahli dalamsastra, gramatikal bahasa arab, dan balaghahnya akan bisa membuat seperti Al-Qur’an,sehingga jelaslah bahwa Al-Qur’an itu bukan buatan manusia
c.      menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghah bahasan manusia,karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak ada yang mempu mendatangkan kitab tandingan yang sama seperti Al-Qur’an,yang telah ditantangkan kepada mereka dalamberbagai tingkat dan bagian Al-Qur’an
d.      menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya[3]
Fungsi ijazul Qur’an
Al-Qur'an adalah wahyu Allah SWT (QS: Al A’raaf:2) yang memiliki fungsi dan peran sebagai:
1.      Mu'jizat bagi Rasulullah Muhammad saw
2.      Pedoman hidup bagi setiap Muslim
3.      Korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya        .
Al Quran tidak diragukan lagi sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mengajak pada kebajikan dan kebenaran, menuju hidup yang lebih baik. Tidak hanya berisi tata cara berinteraksi dengan Sang Pencipta, melainkan juga etika bermu’amalah dengan sesama manusia, maupun dengan makhluk lainnya.. Ada kalanya penyebutan di Al Quran secara global saja, dan Hadits Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai penjelasnya.
Karena diturunkan terakhir atau pamungkas, maka Al Quran berfungsi sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya. Sementara sebagai mu’jizat Rasulullah Muhammad SAW, Al Quran sudah tidak ada tandingannya lagi, bahkan jika seluruh makhluk bersekutu untuk membuat sebuah surat yang sama dengan al Quran[4]
4.                  Macam-macam I’jazul Qur’an
Orang yang mengamati al-Qur’an dengan cermat, mereka akan mengetahui bahwa al-Qur’an merupakan gudang berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan, baik ilmu-ilmu lama maupun ilmu-ilmu baru. Dalam menjelaskan macam-macam I’jazil Qur’an ini-pun para ulama berbeda pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing dari mereka. Setidaknya ada beberapa poin I’jazul Qur’an, yaitu seperti berikut ini :
a.       I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya. Al-Qur’an adalah suatu kitab yang sangat piawai dalam ilmu Balaghah. Sebab setiap kalimat yang ada dalam Al-Qur’an dapat mewakili suatu makna dan maksud dari kalimat tersebut.
b.      I’jazut Tasyri’i  yaitu kemukjizatan segi pensyariatan ajarannya. Ajaran-ajarannya yang selalu eksis dalam situasi dan kondisi apapun. Cara pensyariatannya yang simpatik dan menarik tanpa ada pemaksaan.
c.       I’jazul Ilmi yaitu kemukjizatan dalam segi ilmu pengetahuan. Jumlah ayat-ayat tentang ilmu dalam Al-quran mencapai 750 ayat yang mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan
d.      I’jaz di bidang pemberitaannya tentang hal-hal yang ghaib. Ghaib di sini ada 4 yaitu:
·         Ghaib berita-berita zaman dahulu yang menceritakan tetang waktu terdahulu.
·         Ghaib tetang masa datang, ghaib adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat atau diketahui oleh manusia.
·         Ghaib tetang kenyataan-kenyataan ilmiah yang baru diketahui kebenarannya ribuan tahun setelah Al-Qur’an diturunkan.
·         Ghaib tetang kejadian-kejadian besar yang akan menimpa kaum muslim sepeninggal Rasulullah SAW.
e.       I’jaz dari segala perubahan, segala sesuatu yang ada di dunia ini mesti mengalami perubahan, harus tunduk pada hukum dunia, mengalami usia usang, tetapi Al-Qur’an tidak pernah tunduk pada hukum dunia, Al-Qur’an tidak pernah usang.
f.       I’jazul Adadi, yaitu kemukjizatan bilangan-bilangan dalam Al-Qur’an. I’jaz ini baru ditemukan. Misalnya, sholat wajib ada lima waktu., ternyata ketika di teliti kalimat shalawat (jamak dari sholat) yang berkaitan dengan sholat wajib, di jumpai bilangannya ada lima kalimat dalam al-Qur’an. Kemudian Sholat lima waktu ini ada 17 rekaat, Abu Zahra meneliti kalimat fardhu ini di dalam Al-Qur’an, dan semua kalimat fardhu dengan berbagai derajatnya berjumlah 17 kalimat. Lalu kalimat qasr (memendekkan bilangan rekaat dalam sholat ketika dalam perjalanan), di sebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 11 kali, ternyata ketika dihitung jumlah rekaat dalam sholat qasr sehari semalam, juga 11 rekaat, yaitu, Zuhur 2, Ashar2, Magrib 3, Isya’ 2, dan Subuh2. Kalimat tawaf, tercatat dalam Al-Qur’an ada tujuh kalimat. Itu adalah sebagian dari mukjizat bilangan dala Al-Qur’an.[5]
5.                  Segi-segi I’jazul Qur’an dan Fungsinya
Untuk menentukan segi-segi I’jazul Qur’an, para ulama berbeda pendapat antara lain:
a.       Syekh Abu Bakar Al-Baqillany, dalam kitab I’jazil Qur’an mengatakan Al-Qur’an menjadi mukjizat itu karena 3 kemukjizatan,yaitu
1)      Di dalam Al-Quran itu ada cerita mengenai hal-hal ghaib
2)      Di dalam Al-Quran itu ada cerita umat terdahulu beserta para Nabinya,padahal Rasulullah SAW adalah seorang ummi
3)      Di dalam Al-Quran terdapat susunan indah yang terdiri dari 10 segi: Ijaz, tasybih, isti’arah, talaum, jawashil, tajamus, tasyrif, tadhim, mubalaghah, dan husnul bayan.
b.      Al-Qadhi Iyad Al-Basty dalam buku asy-syifa’u bi ta’rifi huquqil musthafa,mengatakan segi-segi kemukjizatan Al-Quran itu ada 4,yaitu:
1)      Susunannya yang indah
2)      Uslubnya yang lain dari pada yang lain
3)      Adanya berita ghaib yang belum terjadi,tetapi betul-betul terjadi
4)      Adanya berita ghaib masa lalu dan syariat tedahulu yang jelas dan benar
c.       Imam Al-Qurthuby dalam tafsir al-jami’u ahkamil quran mengatakan segi-segi kemukjizatan yaitu:
1)      Susunanya yang indah
2)      Uslubnya berbeda dengan seluruh uslub bahas Arab
3)      Isi aturan halal haram
4)      Pengaturan bahasa yang utuh-bulat
5)      Adanya berita mengenai peristiwa kejadian-kejadian dunia yang belum terdengar[6]
Ada juga yang menyebutkan segi-segi i’jazul Qur’an yaitu :
Gaya bahasa
Gaya bahasa Al-Qur’an membuat orang arab pada saat itu merasa kagum dan terpesona. Al-Qur’an secara tegas menetang. Semua sastrawan para orator arab untuk menandingi ketinggian Al-Qur’an  baik bahasa maupun susunanya. Setiap kali mereka mencoba menandingi, mereka mengalami kesulitan dan kegagalan dan bahkan mendapat cemohan dari masyarakat.
Diantara pendusta dan musyrik arab pada saat itu berusaha untuk menandingi ialah Musailimah Kadzdzab dan tokoh-tokoh masyarakat arab lain pada waktu itu yang ingin menandingi kalam Allah itu, namun selalu mengalami kegagalan.
Hukum Illahi yang Sempurna
Al-Qur’an pokok aqidah , norma-norma keutamaan, sopan santun,undang-undan, ekonomi, politik, sosial dan kemasyarakatan,serta hukum-hukum ibadah.apabila kita memperhatikan pokok-pokok ibadah, kita akan memperoleh kenyataan bahwa islam telah memperluasnya dan menganekaragamkan serta meramunya menjadi ibadah amaliah, seperti zakat dan sedekah. Ada juga yang berupa ibadah amaliah sekaligus ibadah badaniah, seperti berjuang di jalan Allah.
Tentang aqidah Al-Qur’an mengajak umat manusia pada aqidah yang suci dan tinggi yakni beriman kepada Allah yang maha agung, menyatakan adanya nabi dan rasul serta mempercayai kitab samawi.
Dalam bidang undang-undang, Al-Qur’an telah menetapkan kaidah-kaidah mengenai perdata,pidana,politik, dan ekonomi. Adapun mengenai hubungan internasional, Al-Qur’an telah menetapkan dasar-dasar yang paling sempurna dan adil, baik dalam keadaan damai maupun terang.[7]
Berisi beberapa ilmu pengetahuan
Dalam Al-Quran banyak berisi benih dari cabang-cabang ilmu pengetahuan, Al-Quran itu seolah-olah bagaikan gudang yang penuh berbagai pengetahuan dalam berbagai segi kehidupan manusia
Disamping itu, di dalamnya juga penuh bibit ilmu dan acuan di bidang syariat,muamalah,jinayah,dan sebagainya.
6.                  Pendapat para ulama tentang kemukjizatan Al-Qur’an
a.      Az-Zarksy
Kemukjizatan Al-Quran disepakati seluruh ulama, perbedaanya hanya terletak pada bentuk dari mukjizat Al-Quran itu seperti susunan bahasanya,berita ghaib,kisah-kisah masa lampau,isi hatiorang,maknanya yang dalam,puncak kefasihan, memiliki balaghah yang tidak seorang Arab pun mampu menyamainya.keseluruhan kelebihan itulah yang menjadikan Al-Quran itu sebagai mukjizat
b.      Az-Zarqani
Kemukjizatan Al-Quran terletak pada bahasanya,keutuhan susunannya, sehingga setiap surat meskipun ayat-ayatnya turun secara berangsur-angsur atau sekaligus terasa kokoh ikatannya,berisi ilmu pengetahuan, memenuhi kebutuhan manusia seperti perbaikan aqidah,akhlaq,ibadah.peran wanita,politik, ekonomi,dan sebagainya. Sikapnya terhadap ayat qauniyah bisa berupa dorongan untuk bisa menimbulkan kesadaran keagungan Allah,pemberitaan yang ghaib
c.       Subhi ash-Shalih
Al-Quran berisi ushlub yang serasi, kaya dengan irama dan alunan musik[8]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ijazul Qur’an ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka dan mukjizat adalah sesuatu hal luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.
Dan Al-Qur’an al-Karim digunakan Nabi untuk menantang orang-orang Arab tetapi mereka tidak sanggup menghadapinya, padahal mereka sedemikian tinggi tingkat fasahah dan balaghahnya. Hal ini tiada lain karena Al-Qur’an adalah mukjizat.
Mukjizat adalah suatu hal yang luar biasa yang dianugrahkan oleh Allah kepada Nabi/ Rasul-Nya untuk membuktikan kebenaran kenabian atau kerasulannya.
I’jazul Qur’an mempunyai beberapa tujuan, yaitu :
1.         Untuk membuktikan kerasulan Nabi Muhammad SAW
2.        Untuk membuktikan bahwa kitab suci Al-Qu’an benar-banar wahyu dari Allah.
3.        Untuk menunjukkan balaghah bahasa manusia.
4.         Untuk menunjukkan kelemaan daya upaya dan rekayasa manusia
Al-Qur'an adalah wahyu Allah SWT (QS: Al A’raaf:2) yang memiliki fungsi dan peran sebagai:
1.      Mu'jizat bagi Rasulullah Muhammad saw
2.      Pedoman hidup bagi setiap Muslim
3.      Korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya       
Mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad dan nabi-nabi yang lain ada dua jenis, yaitu Hissi dan Maknawi.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami uraikan. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak kesalahan dalam penulisan dan pemaparan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan menambah keyakinan kita kepada Allah SWT.


Minggu, 12 November 2017

Nasikh dan Mansukh

BAB II
PEMBAHASAN
A.     PENGERTIAN
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata  ini dipakai  untuk  beberapa  pengertian:
a.       Nasikh, dapat bermakna ‘izalah (menghilangkan).
b.      Nasikh dapat bermakna tabdil (mengganti/menukar).
c.       Nasikh dapat bermakna tahwil (memalingkan).
d.      Nasikh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. [1]
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian  terminologis.  Perbedaan  terma  yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
 Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama  yang  dinyatakan berakhirnya  masa pemberlakuannya,  sejauh  hukum  tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi  juga  mencakup pengertian  pembatasan  bagi  suatu pengertian bebas (muthlaq).  Juga  dapat  mencakup  pengertian  pengkhususan (makhasshish)  terhadap  suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga  pengertian  pengecualian  (istitsna).
Sebaliknya   ulama  mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasan pengertian  tersebut  untuk  mempertajam  perbedaan   antara nasikh  dan makhasshish, muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas  hanya  untuk  ketentuan hukum  yang  datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya   masa   pemberlakuan   ketentuan  hukum   yang terdahulu,   sehingga   ketentuan  yang  diberlakukan  ialah ketentuan  yang   ditetapkan   terakhir   dan   menggantikan ketentuan  yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari  satu  pengertian, dan  di  lain  pihak  dalam perkembangan selanjutnya naskh membatasinya hanya pada satu pengertian[2].
B.     RUKUN DAN SYARAT NASIKH
Sesuai dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu  hukum, hubungan antara  ketentuan hukum satu dengan yang lainnya harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu  ayat  dengan  ayat lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa rukun dan syarat yang harus diterapkan:
1.      Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.      Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan menghapusnya.
3.      Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.
4.      Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat naskh:
1.      Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2.      Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3.      Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti dinasikh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4.      Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian. [3]
C.     JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin  disoroti  dalam  bagian  ini ialah  adanya naskh  antara  satu  syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat  kita  amati  antara syari'at hukum agama Islam  dengan syari'at  Nabi Isa  as yang lebih  dahulu  ada.  Dalam  hubungan  ini,  dapat  kita katakan bilamana  kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan  sendirinya  kita mengaku   adanya   naskh,   karena syari'at-syari'at  sebelumnya  tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak  akan  kita  berlakukan, sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw. [4]
Jika   sudah   melihat  adanya  nasikh-mansukh  antar syari'at,  di dalam satu   syari'at   juga terjadi   nasikh-mansukh  antara  hukum  yang  satu dengan hukum yang lainnya. Kembali pada syari'at Islam sendiri, akan menemui  beberapa  kasus. Seperti  Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain. Keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram[5]. Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hokum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
 Dari seluruh kasus-kasus tersebut berimplikasi bahwa memang  terbukti adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan  hukum  yang  sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain. 
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut  segi formalnya.  Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat eksklusif  (sharih)  dan  inklusif  (dlimmi). Untuk  yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum  kiblat.  Ketentuan yang  nasikh (pengganti)  ditetapkan  secara  jelas. Sedangkan contoh lain misalnya  hukum ziarah   kubur.   Didalam  hadits  disebutkan,  pernah dilarang dalam   melakukan   ziarah    kubur.    Selanjutnya, ayat itu ternasikh oleh ayat yang membolehkannya seorang ziarah kubur.  Berbeda  dengan hal  tersebut diatas, nasikh  yang  bersifat   dlimmi   tidak   memuat  penegasan didalamnya  bahwa  ketentuan  yang  mendahuluinya  tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya.[6]
D.     MACAM-MACAM NASIKH
1.      Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran
Ulama Sepakat Mengatakan ini diperbolehkan. Demikian juga mengenai jatuhnya. Umpama menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun. Ayat iddah ini ternasikhkan oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan sepuluh hari.
2.      Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:
Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Ahad. Menurut jumhur tidak diperbolehkan, karena Al-Quran itu mutawatir, harus diyakini. Sedangkan hadist ahad masih diragukan.
Kedua, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Mutawatir. Hal ini diperbolehkan menurut imam malik, abu hanifah dan ahmad bin hambal.
3.      Sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran
Ini diperbolehkan menurut jumhur. Menghadap sembahyang ke baitul mukaddis itu ditetapkan oleh sunnah, sedangkan di dalam Al-Quran tidak ada yang menunjukkan demikian itu. Di sini dinasikhkan oleh Al-Quran QS 2:144.
4.      Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah
Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:
1.      Mutawatir dinasihkan dengan mutawatir pula.
2.      ahad dinasihkan dengan ahad pula.
3.      ahad dinasikhkan dnegan mutawatir.
4.      mutawatir dinasikhkan dengan ahad. [7]
E.      BENTUK-BENTUK NASIKH
Nasikh di dalam Al-quran terdapat tiga bentuk, yaitu:
1.      Nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
2.      Nasikh hukum dan tetap adanya tilawah.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla:

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
3.      Menasikhkan tilawah disamping tetapnya hukum.
Contoh: lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah keduanya. Pembalasan itu pasti dari Allah. Dan Allah itu maha Gagah lagi Maha Bijaksana. [8]
F.      KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH
Masalah naskh bukanlah  sesuatu  yang  berdiri  sendiri.  Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu  Ushul  Fiqh.  Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan  pendapat tentang kedudukan naskh.  naskh berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan)[9]. Dilihat  dari jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari  segi  formalnya maka  fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari  segi  materinya,  maka  fungsi   penjelasannya   lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu  fungsi  pokok bahwa  naskh  merupakan   salah   satu interpretasi hukum.
Hikmah Keberadaan Naskh Menurut Manna Al-Oaththan terdapat empat ketentuan naskh, yaitu:
1.      Menjaga kemaslahatan hamba.
2.      Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.      Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian di hapus.
4.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat. [10]
G.     CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut.
1.      Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang artinya:
Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah.mendapat izin untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini berziarahlah kamu ke kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
2.      Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.
3.      Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua perawi.
Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh dalam Alquran. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok). [11]

BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Nasikh menurut bahasa yaitu mengaitkan kepada arti yang hilang. Nasikh mengandung beberapa makna yaitu: menghilangkan, mengganti, memalingkan, dan menukilkan. Sedangkan menurut istilah, ialah membuang hukum syar’i dengan kitab syar’i. Ulama’ mutaqoddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan-ketentuan hukum, tapi juga mencakup pengertian pembatasan bagi suatu pengertian bebas. Sebaliknya ulama’ mutaakhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh, mukhossim, dan muqoyyid sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian.
Adapun bagaimana cara mengetahui nasikh  adalah harus melalui banyak jalan, diantaranya: naskh yang sharih dari Rosulullah SAW, keterangan para sahabat, perlawqanan yang tidak dapat dikompromikan, serta diketahui tarih turunnya ayat-ayat itu. Masalah nasikh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu ushul fiqih.

Penbukaan -Pembukaan Surah

Pengertian Fawatih Al-Suwar Dilihat dari segi bahasa ” fawatih” adalah jamak dari kata “faith”, yang lughawi artinya pembuka. Sedangkan ka...