Minggu, 15 Oktober 2017

Ayat makkiyah dan madaniyah

Definisi Al-Makki dan Al-Madani Kata al-makki berasal dari “Mekah” dan al-madani berasal dari kata “Madinah”. Kedua kata tersebut telah dimasuki “ya” nisbah sehingga menjadi al-makkiy atau al-makkiyah dan al-madaniy atau al-madaniyah.[1] Secara harfiah, al-makki atau al-makkiyah berarti “yang bersifat Mekah” atau “yang berasal dari Mekah”, sedangkan al-madaniy atau al-madaniyah berarti “yang bersifat Madinah” atau “yang berasal dari Madinah”. Maka ayat atau surat yang turun di Mekah disebut dengan al-makkiyah dan yang diturunkan di Madinah disebut dengan al-madaniyah.[2] Secara etimologi, al-makki atau al-makkiyah adalah sesuatu (ayat atau surat Al-Qur’an) yang dinisbahkan kepada kota Mekah. Sedangkan al-madani atau al-madaniyah adalah sesuatu (ayat atau surat Al-Qur’an) yang dinisbahkan kepada kota Madinah. Mekah dan Madinah merupakan dua kota yang menjadi basis utama Rasulullah dalam mengembangkan agama islam. Dengan demikian, kedua kota tersebut merupakan daerah terbanyak tempat diturunkannya ayat suci Al-Qur’an.[3] Secara terperinci para Mufassir berbeda pendapat dalam mendefinisikan makkiyah dan madaniyyah. Perbedaan itu ialah: Menurut Mabahits, Makkiyah ialah segala ayat yang diturunkan di Mekkah dan Madaniyyah segala ayat yang diturunkan di Madinah. Termasuk dalam pengertian di Mekkah tempat-tempat yang terletak di sekitarnya (Arafah, Hudaibiah, dan lain-lain), dan termasuk pula dalam pengertian di Madinah tempat-tempat yang terletak disekitarnya (Badar, Uhud, dan lain-lain).[4] Menurut Al Itqan, Makkiyah adalah segala ayat yang turun sebelum hijrah, sekalipun turunnya di Madinah. Dan Madaniyyah adalah segala ayat yang turun setelah hijrah sekalipun turunnya di Mekkah. Disini berpatokan adalah saat hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah.[5] Menurut Al Burhan, Makkiyyah ialah segala ayat yang isi pembicaraannya kepada penduduk Mekkah dan sekitarnya serta Madaniyyah adalah segala ayat yang isi pembicaraannya ditujukan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya. Berdasarkan kriteria ketiga inilah orang mengatakan setiap ayat yang berisi seruan kepada orang mukmin (ya ayyuhal ladziina aamanu) menunjukkan ia turun di Madinah, dan setiap ayat yang berisi seruan kepada manusia (ya ayyuhannaassu) menunjukkan ia turun di Mekkah.[6] Para ulama memberikan pengertian istilah yang cukup beragam terhadap term al-makki dan al-madani ini. Keberagaman tersebut muncul karena para ulama beranjak dari sudut pandang yang berbeda antara satu dengan lainnya. Suatu kelompok ulama menetapkan batasan yang tidak sama dengan kelompok yang lainnya.[7] Berbagai patokan yang dijadikan sebagai titik start dalam memberikan definisi terhadap al-makki dan al-madani tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga:[8] Pertama, al-makki dan al-madani didefinisikan dengan Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW. beserta para sahabat dari Mekkah ke Madinah diambil sebagai garis demarkasi antara ayat atau surat makkiyah dengan ayat atau surat madaniyah. Dengan demikian definisi yang diberikan adalah (Manna ‘al-Qaththan, tth: 61):[9] وَاِنْ كَانَ نُزُوْلُهُ بِغَيْرِ مَكَّةِ, اَلْمَكِيُّ مَانُزِلَ قَبْلَ هِجْرَةِ الرَّسُوْلِ وَالْمَدَنِيُّ مَانُزِلَ بَعْدَ هَذِهِ الْهِجْرَةِ وَاِنْ كَانَ نُزُوْلُهُ بِمَكَّةَ Al-makki adalah sesuatu (ayat atau surat Al-Qur’an) yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunnya di luar Mekkah. Sedangkan al-madani adalah sesuatu (ayat atau surat Al-Qur’an) yang diturunkan sesudah Nabi hijrah, sekalipun turunnya di Mekkah. Berdasarkan definisi yang menjadikan peristiwa hijrah ke Madinah sebagai batasan, maka ayat: * ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #’n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $Jè‹Ïÿxœ #ZŽÅÁt ÇÎÑÈ Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di anatara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa’: 58) Merupakan ayat al-madani, sekalipun ayat tersebut diturunkan di Mekah ketika terjadi peristiwa Fathu Mekah (penaklukan kota Mekah). Demikian juga keadaannya dengan ayat yang diturunkan ketika Nabi melaksanakan Haji Wada’ (haji perpisahan) yang berbunyi.[10] 4.….. tPöqu‹ø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3ø‹n=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊu‘ur ãNä3s9 zN»n=ó™M}$# $YYƒÏŠ 4ÇÌÈ Artinya: Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Ma’idah: 3) Kedua, mengartikan terminologi al-makki dan al-madani dengan berpatokan kepada tempat ayat diturunkan. Dalam hal ini, definisi yang dikemukakan adalah (Manna’al-Qaththan, tth: 62)[11] Al-makki adalah sesuatu (ayat atau surat Al-Qur’an yang diturunkan di mekkah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah. Dan al-madani adalah sesuatu (ayat atau surat Al-Qur’an) yang diturunkan di madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba dan Sil. Ketiga, definisi yang berpatokan kepada mukhatab atau orang yang dijadikan sasaran dari diturunkannya sebuah ayat atau surat. Dari batasan ini diketengahkan definisi (Manna ‘al-Qaththan, tth:62)[12] Al-makki adalah sesuatu (ayat atau surat Al-Qur’an) yang seruannya ditujukan kepada penduduk Mekah dan al-madani adalah sesuatu (ayat atau surat Al-Qur’an) yang seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah. B. Klasifikasi Al-Makki dan Al-Madani Ada dua metode yang digunakan oleh para ulama untuk mengetahui apakah suatu ayat termasuk makki atau madani.[13] 1. Metode al-Sima’i Ada juga yang menyebut metode ini dengan istilah al-sima’i al-naqli (mengikuti saja apa yang didengar berdasarkan suatu riwayat). Metode al-sima’i merupakan upaya untuk mengetahui apakah suatu ayat atau surat tergolong ke dalam makki atau madani berdasarkan kepada riwayat yang shahih dari para sahabat yang hidup pada masa itu dan menyaksikan turnnya wahyu. Riwayat tersebut juga dapat berasal dari tabi’in yang menerima dan mendengar dari sahabat tentang bagaimana, dimana, dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya suatu wahyu. (Manna’al-Qaththan, tth: 60).[14] 2. Metode qiyasi atau al-qiyasi al-ijtihadi. Metode al-ijtihadi adalah upaya untuk mengetahui apakah ayat atau surat tergolong ke dalam makki atau madani berdasarkan kepada ijtihadi atau qiyas. Cara kerja metode ini didasarkan pada ciri-ciri makki dan madani. Apabila dalam surat makki terdapat suatu ayat yang mengandung sifat madani atau peristiwa madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madani. Dan apabila dalam surat madani terdapat suatu ayat yang mengandung sifat makki atau mengandung peristiwa makki, maka ayat tadi dikatakan ayat makki. Bila dalam satu surat terdapat ciri-ciri makki, maka surat itu dinamakan surat makki. Demikian pula jika dalam suatu surat terdapat ciri-ciri madani, maka surat itu dinamakan surat madani. Inilah yang disebut dengan Qiyasi Ijtihadi (Manna’al-Qaththan, tth: 61)[15] C. Ciri-ciri Al-Makki dan Al-Madani Para ulama telah melakukan penelitian mendalam terhadap ayat-ayat atau surat-surat makki dan madani sehingga dapat menghasilkan ketentuan analogis bagi keduanya. Mereka telah berhasil merumuskan karakteristik atau ciri-ciri khusus dari makki dan madani, baik menyangkut gaya bahasa maupun persoalan yang dibicarakan. 1. Ciri-ciri al-Makki Ayat-ayat atau surat-surat makkiyah, dilihat secara umum terutama segi redaksi yang digunakannya, memiliki ciri-ciri tertentu. Akan tetapi, ciri-ciri yang dapat disimpulkan tersebut tetap saja tidak dapat diberlakukan secara menyeluruh terhadap semua bagian Al-Qur’an. Ada beberapa pengecualian atau realitas yang berada di luar kategorisasi tersebut. Menurut Manna’al-Qaththan (tth: 63), ayat atau surat makkiyah memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut:[16] a. Setiap surat yang di dalamnya terdapat istilah “sajadah” b. Setiap surat yang disana terdapat lafaz “kalla”. Lafaz ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Al-Qur’an. Dan disebutkan sebanyak 33 kali dalam 15 surat. c. Setiap surat yang mengandung “wahai manusia” dan tidak mengandung “wahai orang-orang yang beriman” kecuali surat al-hajj ayat 77 yang pada akhir surat terdapat يَا ا‏َيُّهَالَّذيْنَ ءَامَنُوْاارْكَعُوْاوَسْجُدُوْا............. namun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa ayat tersebut diatas merupakan ayat makkiyah. d. Setiap surat yang megandung kisah para nabi dan umat terdahulu, kecuali suratal-Baqarah. e. Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan Iblis, kecuali surat al-baqarah. f. Ayat-ayatnya di mulai dengan huruf terpotong-potong (huruf at-tahajji) seperti alif lam mim dan sebagainya, surat Al-baqarah dan Ali Imran.[17] Dari sudut tema yang diangkat dan gaya bahasa yang digunakan, ayat atau surat makkiyah memiliki beberapa karakteristik, yaitu (manna al-Qaththan, tth: 63-64):[18] 1) Berisi ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian terhadap kebenaran risalah, misteri di seputar kebangkitan pada hari pembalasan, kiamat, neraka, surga, argumen terhadap orang yang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah. 2) Peletakan dasar-dasar umum bagi pembumian syariat dan akhlaq mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan serta tradisi buruk lainnya. 3) Mengangkat kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sehingga umat Muhammad (terutama orang kafir) dapat mengambil pelajaran dengan mengetahui nasib pendusta agama sebelum mereka. Hal itu juga berfungsi sebagai hiburan dan sugesti bagi Rasulullah sehingga tabah menghadapi gangguan kaumnya serta yakin akan datangnya kemenangan. 4) Memiliki gaya khusus dengan suku kata dan statemen simpel tapi memiliki kekuatan sehingga sangat mengesankan. Pernyataan-pernyataan yang terkesan “sederhana” tersebut dapat menghembus telinga, menggetarkan hati dan menaklukkan orang yang mendengarkannya. 2. Ciri-ciri al-Madani Menurut Manna al-Qaththan (tth: 64), secara umum ayat atau surat madaniyah memiliki beberapa kekhususan. Kekhususan tersebut adalah:[19] a. Setiap surat yang berisi tentang sesuatu yang wajib dikerjakan oleh seorang muslim (faridhah) dan hukuman (had). b. Setiap surat yang di dalamnya menceritakan tentang orang-orang munafik, kecuali dalam surat al-ankabut (29). c. Setiap surat yang di dalamnya terdapat dialog (mujadalah) dengan ahli kitab.

Minggu, 08 Oktober 2017

huruf dan qiraat tujuh

BAB I
PENDAHULUAN
Membincang Al-Qur’an menjadi kehangatan yang tak pernah usai. Sesuai perjalanan zaman ada warna-warna tersendiri yang turut menghiasi kajian ini. Ayat Al-Qur’an sangat menarik jika dikaji dari berbagai sisi. Ada ayat yang berisi perintah maupun larangan dan ada ayat yang berisi tentang ilmu pengetaham yang mendalam. Sehingga sampai saat ini kandungan tersebut sering menguatkan hasil penelitian para ilmuwan di berbagai bidang, semisal Fisika, Kimia, Biologi dan mungkin ruang lingkup lain yang belum sempat terjamah.
Membaca adalah sebuah cara untuk memperoleh kemajuan. Kunci kemajuan peradaban bangsa terletak tentulah terleak pada hobi para penduduk masing-masing dalam membaca dan memahami sesuatu. Allah SWT sendiri pada saat pertama kali wahyu turun langsung memberi perintah membaca kepada Nabi Muhammad S.A.W. Stimulasi penting inilah yang memupuk hati para kaum muslimin untuk terus belajar seperti yang diperintahkan dalam surat Al-'alaq. Bahkan tidak jarang gagasan orang-orang terdahulu  lahir karena keteguhan mereka saat membaca maupun memahami Al-Qur’an.
Dakwah Rasulullah S.A.W. kepada umat manusia tersusun secara rapi dan terarah. Saat pertama kali Syari'at turun, penyebaran agama dilakukan secara diam-diam. Setelah pengikut bertambah banyak seruan beralih dengan cara terang-terangan. Saat pondasi menjadi kuat maka mulailah pembentukan wajah dan karakter masyarakat madani. Terlalu banyaknya suku-suku di berbagai tempat yang telah menjadi bagian dari kaum muslimin menjadi problematika tersendiri dalam penyampaian Al-Qur’an. Hal ini menjadi pemicu perbedaan dalam memahami dan membaca Al Qur’an. Untuk itu umat islam perlu mempelajari cara membaca Al Qur’an yang benar menurut riwayat yang telah di tinggalkan Rasulullah.
Dengan mempelajari cara membaca yang benar diharapkan kita dapat menafsirkan arti dari Al Qur’An dengan lebih tepat, sesuai dengan arti yang seharusnya. Cara ini pun akan meminimalisir perbedaan yang mungkin terjadi saat membaca dan mengartikan Al Qur’an. Tentunya hal tersebut akan lebih membawa berkah karena dapat menghindari perpecahan umat.
   
BAB II
PEMBAHASAN
HURUF dan QIRAAT TUJUH
A.      Pengertian Ahruf sab’ah dan Qira’at sab’ah
Al Qur’an di turunkan dalam bahasa arab yang jelas. Ini tentulah hal yang wajar karena Al Qur’an turun di tengah-tengah masyarakat yang berbahasa arab dengan nabi yang berbahasa arab sekalipun ini bukan brarti Islam adalah agama bangsa arab. Al Qur’an yang berbahasa arab ini di jelaskan dalam ayat-ayat, di antaranya:
1.      QS: Yusuf, ayat 2:
$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wŠÎ/ttã öNä3¯=yè©9 šcqè=É)÷ès? ÇËÈ  
Artinya:
“Sesungguhnya, kami menurunkan Al Qur’an yang berbahasa arab agar kamu memahaminya.”
2.      QS: Al Syu’ara’, ayat195:
Ab$|¡Î=Î/ <cÎ1ttã &ûüÎ7B ÇÊÒÎÈ  
Artinya:
“Dengan bahasa arab yang jelas.”
Dari 2 ayat di atas jelaslah bahwa bahasa yang digunakan dalam Al Qur’an adalah bahasa arab asli. Akan tetapi, dalam perjalanan selanjutnya tentu akan timbul permasalahan terkait dengan bahasa itu sendiri. Karena bangsa Arab terdiri dari beberapa rumpun, tentunya spesifik dari tiap-tiap bahasa tersebut berbeda. Muhammad Abd al “zim mengemukakan bahwa terdapat 10 hadist yang dipandang sahih sebagai dalil tentang turunnya Al Qur’an dalam 7 huruf (ahruf sab’ah)[1]. Di antaranya:
a.      Dari Ibn Abbas r.a bahwa ia berkata: “Berkata Rasulullah SAW: “Jibril membacakan kepadaku atas satu huruf, maka aku kemballi kepadanya, maka aku terus menerus meminta tambah dan ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai 7 huruf”. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dan muslim)
b.      “ Kemudian, berkata Rasullullah SAW:” Sesungguhnya Al Qur’an ini di turunkan atas tujuh Ahruf(huruf), maka bacalah olehmu mana yang mudah daripadanya”.(diriwayatkan oleh Al Bukhari dan muslim).
1.      Pengertian Ahruf Sab’ah (sab’ah ahruf)
Kata “ahruf” merupakan bentuk jamak dari “ Harf” yang dalam bahasa Indonesia selalu di terjemahkan dengan huruf. Dalam Bahasa Arab kata “harf” adalah lafal musytarak (mempunyai banyak arti). Sesuai dengan penggunaan “harf”, bisa berarti: ‘tepi sesuatu’, ’puncak’, ’satu huruf ejaan’, ’unta yang kurus’, ’aliran air’, ’bahasa’, ’wajh (bentuk)’, ’dan sebagainya. Karena itu sab’ah ahruf bisa diartikan dengan:tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh makna, tujuh bacaan, dan tujuh bentuk (awjuh). Meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya[2].
Imam Abu Fadhilal Razi dalam kitabnya Al Lawaih mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan dengan Sab’ah ahrif  adalah tujuh perbedaan bacaan Al Qur’an. Perbedaan bentuk-bentuk tersebut adalah:
1.      Perbedaan Asma’(kata benda), Berupa bentuk tunggal, dua, jamak, pria dan wanita.
2.      Perbedaan Tasrif(kongjungsi) af’al (kata Kerja), berupa madhi, mudhari’, dan amar.
3.      Perbedaan bentuk I’rab.
4.      Perbedaan sebab pengurangan dan penambahan kata.
5.      Perbedaan sebab mendahulukan dan mengakhiri.
6.      Perbedaan sebab Penggantian huruf.
7.      Perbedaan lahjah.[3]
2.      Pengertian Qira’at sab’ah
Berdasarkan etimologi (bahasa), qiraah merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qiraah (membaca), jamaknya yaitu qiraat. Bila dirujuk berdasarkan pengertian terminology (istilah), ada beberapa definisi yang diintrodusirkan ulama :
a.      Menurut az-Zarqani.
Az-Zarqani mendefinsikan qiraah dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya[4].
b.      Menurut Ibn al Jazari :
Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya[5].
c.       Menurut al-Qasthalani :
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan[6].
d.     Menurut az-Zarkasyi :
Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya[7].
e.      Menurut Ibnu al-Jazari
Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya kepada penukilnya[8].
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga qira’at yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu :
1)      Qira’at berkaitan dengan car penafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang iman dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2)       Cara penafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3)      Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persolan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washil[9].
Hikmah diturunkan Al qur’an dalam 7 huruf:
  1. Mempermudah umat islam khususnya bangsa Arab yang diturunkan Al Qur’an, sedangkan mereka memiliki beberapa dialek (lahjah) walaupun dapat di satukan dengan ke arabannya.
  2. Menyatukan umat Islam dalam satu bahasa yang disatukan dengan bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahsa pilihan di kalangan suku-suku bangsa Arab[10].
Hikmah perbedaan Qiraat dalam Al Qur’an:
1.      Untuk memberikan kemudahan bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab dalam membaca Al Qur’an
2.      Mempersatukan umat Islam dikalangan Bangsa Arab, yang relatif baru, dalam satu bahasa yang dapat mengikat persatuan di antara mereka, yaitu bahsa Quraisy yang dengannya Al Qur’an di turunkan, dan dapat mengakomo atau menampung unsur-unsur bahasa Arab dari kabilah-kabilah lain.
3.      Menunjukan kelebihan (keutamaan) umat Nabi Muhammad SAW dari umat nabi-nabi sebelumnya, karena kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad SAW hanya terdiri atas satu versi qiraat.
4.      Menunjukan atau membuktikan terjaga serta terpeliharanya Al Qur’an dari adanya tabdil (penggantian) dan tahrif (pengubahan), termasuk berbagai versi qiraatnya[11].
B.      Landasan dan latar belakang Abruf sab’ah dan Qira’at sab’ah.
Sejarah Qira’ah
Pada masa Rasulullah sudah sebenarnya sudah terdapat Qori-qori yang mengajarkan cara membaca Al Qur’an kepada orang-orang menurut standar bacaan para sahabat. Di antara paa sahabat yang populer bacaannya adalah Ubay, Aly, Zaid ibnu Tsabit, ibnu mas’ud, Abu Musa Al Asy’ary dan lainnya. Dari mereka itulah kebanyakan para sahabat dan tabi’in di seluruh daerah belajar. Mereka semua berpedoman kepada Rasulluah saw sampai dengan datangnya masa tabi’in pada awal abad ke II H. Selanjutnya timbullah golongan yang begitu memperhatikan tanda baca secara sempurna manakala di perlukan. Mereka menjadikannya sebagai salah satu cabang ilmu sebagaimana halnya ilmu-ilmu syaria’at yang lain[12].
Kalangan sahabat sendiri dalam mengambil bacaan dari Rasullah saw berbeda-beda. Ada yang mengambil dengan satu huruf/bacaan sedangkan yang lain mengambil dengan bacaan yang lain pula, dan bahkan ada yang lain lagi. Kemudian mereka bertebaran keseluruh penjuru daerah dengan keadaan yang seperti itu.
Ustman r.a ketika mengirim mushaf ke seluruh penjuru, ia mengirim pula orang yang sesuai bacaannya dengan mushaf yang diturnkan. Setelah para sahabat berpencar ke seluruh daerah dengan bacaan yang berbeda-beda itu, para tabi’in mengikutinya dengan mengambil baacan dari sahabat tersebut. Dengan demikian beraneragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masala ini menimbulkan imam-imam atau tokoh-tokoh qori yang masyur yang berkecimpung di dalamnya. Dan mencurahkan segalanya untuk Qari’at dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.[13]
Setelah adanya tokoh-tokoh tersebut, banyaklah berkembang qori-qorinya yang terkenal ke seluruh penjuru serta di kembangkan dari generasi ke generasi yang berlainan tingkatnya dan berbeda sifatnya. Di antara mereka ada yang sangat baik dalam membaca, masyur dari segi riwayat dan dirayahnya, dan sebagian lain hanya mempunyai satu segi bacaan dan yang lainnya ada yang lebih dari itu. Oleh karena itu timbullah banyak perbedaan dan kurang adanya keseragaman antara sesamanya.( mohamaad aly: 319)[14]
Pada masa inilah timbul tokoh-tokoh dan pemimpin umat yang bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga bisa membedakan antara bacaanyang benar dan yang salah, serta yang berkembang dan yang dipunahkan dengan pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan segi-segi yang mereka utamakan (manahilu’irfan, juz I, hal 407).[15]
C.      Klarifikasi masalah Abruf sab’ah dan Qira’at sab’ah.
Pengarang kitab Al itqon menyebutkan macam-macam Qira’at itu ada yang mutawattir, masyur, syadz, ahad, maudhu’, dan mudarraj.[16]
Al suyuthi mengutip ibn al-jazari yang mengelompok Qira’at berdasarkan sanad kepada 6 macam, yaitu:
  1. Mutawatir, yaitu qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta dalam tiap angkatan sampai pada Rasulullah saw. Menurut jumhur ulama Qiraat yang tujuh adalah mutawattir(zarkasi,ramli). Menurut H. ahmad Fatahoni, para ulama Al Qur’an dan ahli hukum Islam telah sepakat bahwa Qiraat yang berstarus mutawattir ini adalah Qiraat yang sah dan resmi sebagai Al Qur’an. Qira’at ini sah dibaca didalam dan diluar sahlat. Qiraat ini di sejadikan sebagai sumber atau hujjah dalam menetapkan hukum.
  2. Masyur, yaitu qiraat yang sanadnya sahih. Akan tetapi jumlah periwayatnya tidak sampai sebanyak mutawattir. Qiraat ini sesuai dengan kaidah bahasa arab dan tulisan mushaf usmani. Qiraat ini populer dikalangan ahli qiraat dan mereka tidak memandangnya sebagai qiraat yang salah atau aneh. Misalnya qiraat yang berbeda-beda jalur periwayatanya dari imam qiraat yang tujuh. Sebagian periwayat meriwayatkannya dari mereka dan sebagian yang lain tidak demikian. Di antara kiab yang paling masyur menyangkut kedua macam qiraat ini adalah kitab al taisir karangan al Dani, al-Syathibiah karangan al Syathibiah (w. 590 H) dan Thibah al-Nasyr fi al-Qiraat al Asyr karangan ibnu al Jazari. Menurut al Zarkani dan Shubhi al Shalih, kedua macam tingkatan mutawattir dan masyur sah bacaannya dan wajib meyakininya dan tidak boleh mengingkari sedikit pun daripadanya.
  3. Ahad yaitu qiraat yang sanadnya shahih. Akan tetapi qiraat ini menyalahi tulisan mashaf usmani atau kaidah bahasa arab atau tidak masyur seperti kemasyuran tersebut diatas. Qiraat ini tidak sah dibaca sebagai Al Qur’an dan tidak wajib meyakininya.
  4. Syaz yaitu Qiraat yang sanadnya tidak sahih, seperti qiraat Ibn al Sumaifi.
  5. Maudhu’, yaitu qiraat yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar.
  6. Mudraj, yaitu qiraat yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya di jadikan penafsiran bagi ayat Al Qur’an[17].
Terdapat sedikit perbedaan pendapat dikalangan para ahli qiraat dalam menetapkan persyaratan bagi qiraat yang tergolong shahihat, namun pada prinsipnya sama. Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut.(hasanuddin: 138).
Ibn khalawayh (w.370 H), menetapkan persyaratan sebagai berikut:
  1. Qiraat tersebut harus sesuai dengan rasm al mushhaf
  2. Qiraat tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
  3. Qiraat tersebut bersambng periwayatannya.
Makki abn Abi Thalib (w.437 H), penetapkan persyaratannya sebagai berikut:
  1. Qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab yang berlaku
  2. Qiraat tersebut harus sesuai dengan rasm al mushhaf
  3. Qiraat tersebut disepakati oleh ahli qiraat pada umumnya
Sementara itu al kawasyi (w.680H), menetapkan persyaratan sebagai berikut:
  1. Qiraat tersebut memiliki sanad yang shahih.
  2. Qiraat tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab.
  3. Qiraat tersebut harus sesuai dengan rasm al mushhaf.
Sedangkan Ibn al Jaziri (w.833H) menetapakan persyaratan sebagai berikut:
  1.  Qiraat tersebut memiliki sanad yang shahih.
  2. Qiraat tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab secara mutlak.
  3. Qiraat tersebut harus sesuai dengan rasm al mushhaf meskipun tidak persis betul.
Jadi, secara garis  besar qiraat Al Qur’aitu teerbagi kepada 2 tingkatan saja, yaitu:
  1. Qiraat yang dapat diterima sebagai Qiraat Al Qur’an, yaitu:
a.      Qiraat yang di akui qur’aniyahnya(ke Qur’anannya), yaitu yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasm al mushhaf, serta diriwayatkan secara mutawatir.
b.      Qiraat yang tidak di akui qur’aniyahnya(ke Qur’anannya), yaitu mencakup 2 macam qiraat,yaitu:
-          Qiraat ahad, yaitu qiraat yang sanadnya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasm al mushhaf, tetapi tidak diriwayatkan secara mutawatir.
-          Qiraat syazzat, yaitu qiraat yang sanadnya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab, teapi tidak sesuai dengan rasm al mushhaf.
  1. Qiraat yang tidak dapat diterima sebagai Qiraat Al qur’an.
a.      Qiraat yang tidak ada dasarnya atau tidak bersumber dari Nabi SAW.
b.      Qiraat yang sanadnya tidak sahih
c.       Qiraat yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa arab.
Macam-macam qiraat, yaitu:
  1. Ibn Amir,
Nama lengkapnya abdullah Ibn ‘Amir al Yasshabi (8-118H). ia membaca Al Qur’an dari al mughirah ibn abi shihab al makhzumi dan abu darda’,  al mughirah membaca dari Usman bin Affan, sementara Usman bin Affan dan abu darda’ membaca dari nabi SAW. Dua rawi dari Qiraat ib ‘Amir:
a.       Hisyam(245 H)
b.      Ibn Zakwan(242 H).
  1. Ibn Kasir
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah ibn Kasir al Makki(45-120H). Ia membaca Al Qur’an dari Abdullah Ibn al Sa’ib, Mujahid Ibn Jabr, dan Dirbas. Abdullah ibn Al Sa’ib membaca dari Ubay ibn Ka’ab dan Umar ibn Al Khaththab. Mujahid ibn Jabr dan Dirbas membaca dari ubn Abbas. Ibnu abbas membaca dari ubay ibn Ka’ab dan Zayd ibn Sabit. Sementara Ubay ibn Ka’ab, Umar Ibn Khaththab dan Zayd. Dua orang rawi qiraat ibn Kasir:
a.       Al Bazzi
b.      Qunbul
  1. Ashim
Nama lengkapnya Ashim Ibn Al Najud Al Asadi (129H). ia membaca Al Qur’an dari Abu Abd Al Rahman Al Simi. Abu Abd Al Rahman Al Simi membaca dari Ibn Mas’ud, Usman Bin Affan, Ali bin abi Thalib, Ubay Ibn Ka’ab dan Zayd Ibn Sabit. Para sahabat tersebut menerima bacaan Al Qur’an dari Nabi SAW. Dua orang Rawi Qiraat Ashim:
a.      Hafsh
b.      Syu’bah
  1. Abu ‘Amr
Nama lengkapnya Abu Amr Zabban Ib Al Ala Ibn ‘Ammar(68-154 H). ia membaca Al Qur’an dari abu Ja’far Yazid ibn Qa’qa’ dan Hasan al Bashri. Hasan al Bashri membaca dari al Haththan dan Abu al Aliyah. Abu Al aliyah membaca dari umar Ibnu Al Khaththab dan ubay ibn Ka’ab. Kedua sahabat yang tersebut terakhir ini membaca Al Qur’an dari Nabi SAW. Dua orang Rawi dari Qiraat Abu Amr:
a.      Al Duri
b.      Al Susi
  1. Hamzah
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibn Hubayb Abn al Ziyyat al Kufi(80-156 H). Ia membaca al Qur’an dari Ali Sulayman al A’masy, Ja’far Al Shadiq, Hamran Ibn A’yan, Manhal ibn ‘Amr, dan lain-lain. Mereka semua bersambung sanadnyakepada Nabi SAW. Dua orang rawi Qiraat Hamzah:
a.      Khallad
b.      Khalaf
  1. Nafi’
Nama lengkapnya Nafi’ibn Abd al Rahman Ibn Abi Nu’aym al Laysi(169H). ia membaca Al Qur’an dari Ali Ibn Ja’far, Abd Al rahman ibn Hurmuz Muhammad Ibn Luslim Ibn Muslim al Zuhri, dan lain-lain. Mereka semua bersambung sanadnya secara Shahih kepada Nabi SAW. Dua orang rawi Qiraat Nafi’:
a.      Warasy
b.      Qalum
  1. Al kasa’i
Nama lengkapnya adalah abu Hasan Ali Ibn Hamzah Al Kisa’I (187H). Ia membaca Al Qur’an dari Hamzah, Syu’bah, Ismail ibn Ja’far, dan lain-lain. Mereka semua bersambung sanadnya kepada Nabi SAW. Dua orang rawi Qiraat Al Kasa’i:
a.      Al Duri
b.      Abu Al Haris.[18]
c.        
Di kalangan sahabat yang masyur mengjarkan Al Qur’an adalaj:
  1. Utsman
  2. Ali bin abi thalib
  3. Ubay bin ka’ab
  4. Zaid bin Tsabit
  5. Ibnu Mas’ud
  6. Abu Ad Darda
  7. Abu Musa Al Asy’ari.[19]
Dalam membaca Al Qur’an ara ulama tajwid dan adab tilawahnya, dan iramanya pun harus sesuai dengan kaidahyang benar. As-sayuti dalam al Itqan, dan di ungkapkan kembali oleh ar Rafi’I dalam I’jazul Qur’an dengan mengatakan:” Di antara perbuatan Bid’ah dalam qiraat dan ada’ adalah talhin. Atau melagukan bacaan yang hingga sekarang ini masih ada dan disebarluaskan oleh orang yang hatinya telah terpikat dan terlanjur mengagumi[20]. Mereka membaca Al Qur’an sedemikian rupa layaknya sebuah irama atau nyayian. Dan di antara macam-macam talhin yang mereka kemukakan sesuai dengan pembagian irama lagu adalah:
  1. Tar’id, yaitu bila qori’ menggelegarkan suaranya, laksana suara yang menggelegar karena kedinginan atau kesakitan.
  2. Tarkis, yaitu sengaja berhenti pada huruf mati namun kemudian dihentakkannya secaratiba-tiba disertai dengan gerakan tubuh, seakan-akan sedang melompat atau berjalan cepat.
  3. Tatrib, yaitu mendendangkan atau melagukan Al Qur’an sehingga membaca panjang(mad) bukan pada tempatnya.
  4. Tahzin, yaitu membaca Al Qur’an dengan nada memelas seperti orang yang lagi bersedih sampai hamper menangis disertai kekusyukan dan suara lembut.
  5. Tardid, yaitu bila sekelompok orang menirukan seorang qori pada akhir bacaannya dengan suatu gaya atau cara-cara di atas[21].
Qiraat itu sebenarnya ada yangbersifat tahqiq, yaitu dengan cara memberikan kepada setiap huruf akan haknya sesuai dengan ketentuan yang telah di tetapkan para ulama. Dan di sertai tartil yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan tenang serta dengan suara yang lembut, bersifat hadar, yaitu membaca cepat dengan tetap memperhatikan sarat-sarat pengucapan yang benar , dan ada pula yang bersifat tadwir yaitupertengan antara kedua sifat tadi[22].
D.      Peranan Qira’at sab’ah dalam penafsiran
Kata Istinbath adalah bahasa arab yang berasal dari kata al nabth yang berarti “air yang keluar pertama kali atau tampak pada saat menggali sumur. Karena itu makna istinbath yang biasa dipakai adalah “mengeluarkan”[23].
Secara terminologi istinbath berarti: mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada( Al Qur’an dan Sunnah) dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa substansi dari istinbath adalah upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum dari apa yang terdapat dalam Al Qur’an maupun Sunnah[24].
Perbedaan Qiraat Al Qur’an yang berkaitan dengan substansi lafal atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafal atau kalimat adakalanya tidak. Dengan demikian, perbedaan Qiraat Al Qur’an dalam hal ini adakalanya berpengaruh dalam istinbath hukum dan adakalanya tidak.[25]
(hasanuddin: 201)
  1. Perbedaan qiraat yang berpengaruh terhadap istibath hokum
Adapun perbedaan qiraat Al qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum, dan berpengaruh terhadap istinbath hukum, dapat di lihat dengan contoh:
QS: Al Baqarah, ayat 222:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Artinya:
“Mereka bertanya padamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Sehubungan dengan qiraat ( laa mastumunnisa’), ada 3 versi pendapat ulama mengenai laa mastum, yaitu: bersetubuh(jaa ma’tum), bersentuh ( baa syartum), dan bersentuh serta bersetubuh. Dalam kaitan dengan hal ini , al Razi berkomentar bahwa suatu lafaz harus di artikan dengan pengertian hakiki. Makna hakiki dari (au laaa mastumunnisa’) adalah menyentuh tangan. Jadi wanita sedang haid tidak boleh di sentuh. Sedangkan ada pendapat lain yang mengatakan yang dimaksud dalam hal ini adalah bersetubuh.
  1. Qiraat yang tidak berpengaruh terhadap istimabat hukum
QS: al maidah, ayat:95
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=çGø)s? yøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur ×Pããm 4 `tBur ¼ã&s#tFs% Nä3ZÏB #YÏdJyètGB Öä!#tyfsù ã@÷WÏiB $tB Ÿ@tFs% z`ÏB ÉOyè¨Z9$# ãNä3øts ¾ÏmÎ/ #ursŒ 5Aôtã öNä3YÏiB $Nƒôyd x÷Î=»t/ Ïpt7÷ès3ø9$# ÷rr& ×ot»¤ÿx. ßQ$yèsÛ tûüÅ3»|¡tB ÷rr& ãAôtã y7Ï9ºsŒ $YB$uϹ s-räuÏj9 tA$t/ur ¾Ín͐öDr& 3 $xÿtã ª!$# $£Jtã y#n=y 4 ô`tBur yŠ$tã ãNÉ)tFZuŠsù ª!$# çm÷ZÏB 3 ª!$#ur ÖƒÍtã rèŒ BQ$s)ÏGR$# ÇÒÎÈ  
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa diantara kamu yang membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan 2 orang yang adil diantara kamusebagai hadnya, yang di bawa sampai ke ka’bah, atau dengan membayar kifarat dengan member makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya ia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya.”
Sehubungan dengan ayat di atas, ibn kasir,ashim, abu ‘amr, hamzah dan al kisa’I, membaca( aukaffaaratu tha’aa mu masyaa kiin). Sementara Nafi dan ibn amir membaca (aukaffaa hutha’aa mi masyaa). Tanpa terjadi perbedaan maksud dan hukum yang terdapat di dalamnya
C. Penutup
Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa Al Qur’an ternyata diturunkan dalam 7 huruf. Sehingga kita dapat memilih mana diantaranya yang lebih memudahkan kita untuk membacanya. Karena masing-masing dari huruf Al Qur’an tersebut akan lebih cenderung pada tata bahasa kabilah-kabilah di bangsa Arab pada waktu Al Qur’an di turunkan.
Selain itu untuk membaca Al Qur’an juga terdapat qira’at-qira’at yang diriwayatkan sampai ke Rasulullah, sebagai cara membaca Al Qur’an yang baik dan benar. Di antara qira’at-qira’at tersebut yang mutawattir adalah:qira’at ibnu Amir, qira’at ibnu kashir, qira’at Ashim, qira’at Hamzah, qira’at Nafi’, Qira’at al Kisa’i. Sebagai seorang mukmin sebaiknya kita menguasai minimal satu qira’at, sehingga kita tidak terjerumus pada cara pembacaan Al Qur’an yang salah.
Selain merupakan cara membaca Al Qur’an yang benar, qira’at juga mempunyai fungsi dalam menentukan istinbath hukum dalam islam. Dengan adanya pembacaan Al Qur’an dalam beberapa versi ini, membantu ulama-ulama sesusudahnya untuk memahami arti yang lebih hakiki dari Al Qur’an tersebut.

Penbukaan -Pembukaan Surah

Pengertian Fawatih Al-Suwar Dilihat dari segi bahasa ” fawatih” adalah jamak dari kata “faith”, yang lughawi artinya pembuka. Sedangkan ka...