Satu-satunya kitab suci yang murni berisikan perintah Allah adalah al-Qur’an.Kitab suci umat Islam yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umatnya, sebagai pedoman hidup supaya tidak salah langkah dalam menitih kehidupan di dunia dan sebagai pedoman dalam mencari bekal untuk kehidupan di akhirat yang kekal.
Dalam sejarahnya, firman Allah yang terkumpul didalam al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dengan waktu, dan tempat yang berbeda-beda. Sehingga al-Qur’an di zaman dahulu tidak berbentuk kitab atau buku seperti yang kita ketahui sekarang ini. Kemudian para ulama mengumpulkan firman-firman Allah tersebut menjadi satu kitab agar tidak hilang dan supaya lebih mudah dalam mempelajarinya.
Tujuan
Untuk mengetahui terjadinya proses Nuzulul Qur’an.
Untuk mengetahu sebab-sebab turunnya al-Qur’an.
Untuk mengetahui penulisan dan pengumpulan atau penertiban Al-qur’an.
PEMBAHASAN
Menjelang turunnya al-qur’an
Sebelum nabi muhammad saw di utus di bumi ini dan turunnya al-Qur’an, Di belahandunia timur dan barat terdapat dua kerajaan adidaya yaitu Romawi dan Persia. Kerajaan romawi meliputi bagian barat yaitu Benua Amerika, Eropa, dan sebagian afrika termasuk Mesir. Sedangkan Kerajaan persia meliputi Iran, Irak, Afganistan. Kedua kerajaan ini mempunya kebudayaan yang berbeda . Romawi di dominasi Agama kristen, dan persia di dominasi budaya agama Zoroaster.Kedua kerajaan ini sangat kacau dan biadab. Masyarakat kerajaan Romawi suka berfoka-foya dan melakukan kekerasan. Demikian pula masyarakat persia muncul aliran mazdak di abad 5 yang menghalalkan harta benda dan wanita dengan bebas.
Jazirah arab, tempat nabi muhammad di lahirkan dan tempat alquran di turunkan. Daerah ini tidak pernah masuk dalam wilayah kekuasaan kedua kerajaan adidaya keduanya. Walaupun daerah ini selalu menjadi sasaran ekspansi keduanya, karena daerah ini jauh dari pusat kerajaan baik Romawi maupun Persia. Sehingga kebrorokan budaya kedua kerajaan tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap masyarakat baru, apalagi budaya nenek moyang mereka Ibrahim masih melekat dan sangat mereka cintai. Hal ini tergambar pada sikap mereka masih mencintai kejujuran dan keterbukaan menerima kebenaran. Ini adalah salah satu alasan atau hikmah kenapa al-Qur’an diturunkan di jazirah arab dimana terlihat bahwa wilayah ini merupakan lahan yang masih subur dan siap menerima al-Qur’an, dan disamping itu juga menurut Nasir Omar “ bahasa arab lebih mapan di banding bahasa lainnya di karenakan bahasa arab tidak mengalami banyak perubahan.
Seperti hal nya bahasa dalam Al-quran yang di turunkan ribuan tahun yang lalu menggunakan bahasa arab pula yang digunakan di jazirah arab saat ini terlihat tidak ada perbedaan. Sebelum al-qur’an di turunkan di tengah-tengah masyarakat arab terdapat budaya adat dan tradisi seperti sistem perkawinan hukuman atas pelaku kejahatan sistem waris dan kebiasaan dalam keluarga. Bahkan mereka juga menganut suatu sistem kepercayaan dan ibadah yang mereka warisi dari nenek moyang termasuk di antaranya hal-hal yang berasal dari nabi Ibrahim. Akan tetapi telah terjadi banyak penyimpangan dan perubahan. Al-qur’an turun merespon sistem kebudayaan dan kepercayaan tersebut iya meluruskan penyimpangan-penyimpangan, mengahapus tradisi yang tidak manusiawi, melakukan perubahan terhadap suatu sistem dan atau menerima suatu tradisi yang dianggap baik.
Pengertian Nuzul Qur’an
Kata “Nuzul” berasal dari bahasa Arab “Nazala”, secara etimologis berarti turun, jatuh, keadaan turun, tinggal sementara dan hal yang menimpa. Sedangkan secara terminologis Nuzul adalah turunnya al-Qur’an pada nabi Muhammad SAW yang dibawa oleh malaikat Jibrik ke bumi.Al-Qur’an pada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a.s sebagaimanadi firmankan Allah dalam al-Qur’an surat Asy-Syu’araa’ ayat 193 sampai 195 yaitu:-Shaabuu
Artinya “Dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril a.s) kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi slah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.
Jika ditelusuri dengan cermat, penggunaan kata yang dipergunakan untuk menunjukkan turunnya al-Qur’an menggunakan kata nazzala (seperti Nazzala al-furqan) dan anzala (seperti anzalnahu fi lailat al-qadr). Kata anzala menunjukkan kepada makna bahwa al-Qur’an pernah diturunkan sekaligus dan terkait dengan ruang dan waktu, sedangkan nazzala menunjukan bahwa al-Qur’an turun secara berangsur-angsur.Oleh karena itu ulama klasik (salaf) hingga abad ke-3 H enggan memberikan pengertian yang sebenarnya yang berkaitan dengan nuzul-nya al-Qur’an. Ulama setelah Abad ke-3 H memahami nuzul al-Qur’an dengan pengertian ditampakkan atau diperkenalkannya al-Qur’an pada waktu dan tempat tertentu.
Ada juga pendapat yang memberikan alternatif dari problema tersebut dengan memberikan pengetian majazy dari kata nuzul diartikan penampakkan al-Qur’an ke pentas bumi pada waktu dan tempat tertentu. Menurut pandangan ini al-Qur’an bersifat qadim dalam pengertiannya sudah ada sebelum adanya tempat dan waktu, akan tetapi keberadaannya diwaktu itu belum diketahui atau belum hadir di bumi. Ketika al-Qur’an pertama kali diterima ketika itu pula al-Qur’an pertama kalinya menampakkan diri.
Proses turunnya Al-Qur’an
Penyampaian Al-qur’an dari allah kepada Lawh al-mahfuzh. Maksud nya sebelum al-Qur’an di sampaikan kepada beliau sebagai utusan allah terhadap manusia, ia terlebih dahulu di sampaikan lawh al-mahfuzh yaitu suatu lembaran yang terpelihara dimana al-qur’an pertama kalinya ditulis pada lembara tersebut. Allah SWT menjelaskan sebagai berikut (QS Al-Buruj ayat 21-22).
Artinya “21. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia,
22. yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh”
Al-qur’an sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui dua tahap :
1.Turunnya Al-Qur’an sekaligus
Turun nya al-qur’an ke langit pertama dengan sekaligus. Dilangit pertama itu ia disimpan pada bayt al-‘izzah. Penurunan tahap kedua ini berketepatan dengan malam Qodar. Seperti yang di jelaaskan pada beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya adalah:
Q.S Al-Qadar ayat 1
Artinya “1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan”
Q.S Adduhan ayat 3
Artinya “3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”
Dan Q.S al-baqoroh ayat 185.
Artinya “185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Adapun alasan mengapa Al-Qur’an diturunkan sekaligus karena memuliakan kedudukannya dan kedudukan orang yang di turunkan kepadanya kitab itu ( Muhammad ) juga mengumumkan kepada penghuni tujuh langit ( para malaikat ) bahwa kitab itu adalah kitab terakhir yang di sampaikan kepada rosul terakhir untuk umat yang palimg mulia ( Umat Muhammad ).
2. Turunnya Al-Qur’an Bertahap
Turunnya al-qur’an dari bayt al-‘izzah secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad SAW melalui jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari atau selama 23 tahun.
Adapun Hikmah turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur antara lain :
Menetapkan atau menguiatkan hati Nabi Muhammad SAW dengan turunnya al-qur’an secara berangsur-angsur berarti Nabi akan selalu berjumpa dengan jibril dan menerima al-qur’an, hal ini akan berpengaruh pada Nabi dalam menyampaikan risalah ilahi.
Berangsur-angsur dalam mendidik umat, yang sedang tumbuh dalam menankan ilmu dan amal untuk mempermudah para sahabat dalam memahami dan menghafal serta mengamalkan setiap ayat yang diturunkan.
Menyesuaikan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu, karena akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga umat islam benar-benar merasakan betapa butuhnya mereka terhadap Al-Qur’an dan berguna untuk menjawab pertanyaan para sahabat secara langsung dengan wahyu yang diturunkan.
Memberi isyarat nyata kepada musuh-musuh islam bahawa al-Qur’an adalah kalam Allah bukan perkataan Nabi.
Cara Penyampaian Al-Quran
Cara penyampaian Al-Quran oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Ada beberapa cara yaitu :
Penyampaian risalah secara langsung oleh Allah kepada Nabi. Nabi tidak melihat allah tetapi dia dapat menerima hidayah atau risalah itu.
Penyampaian risalah melelui perantaan malaikat yang terbagi menjadi empat cara yakni :
Malaikat menyampaikan ke dalam hati nabi, dimana nabi tidak dapat melihatnya.
Malaikat datang kepada nabi berupa bunyi bel. Hal ini sangat susah bagi nabi sehingga dia berkeringat walaupun pada cuaca dingin
Malaikat datang kepada nabi seperti seorang laki-laki yang menyampaikan misi ilahiyah tersebut.
Malaikat datang kepada nabi dalam bentuk bentuk aslinya sebagai malaikat. Kemudian menyampaikan misi ilahiyah
Walaupun nabi itu seorang manusia biasa, tetapi dia bisa berjumpa dengan malaikat jibril sebagai seorang malaikat. Dan dia juga dapat pula menerima bisikan atau pengajaran dari Allah Swt, karena para nabi tersebut telah di persiapkan untuk hal tersebut.
Periode penurunan Al-Qur’an
Klasifikasi tahap penurunan al-qur’an didasarkan atas penyampain al-qur’an dari allah terhadap nabi Muhammad SAW apabila klasifikasi tersebut didasarkan atas periode peyampaian dakwah islam dan penanaman serta pertumbuhan ajaran islam maka penurunan al-Qur’an dapat diklasifikasikan kepada periode Mekah dan Madinah.Adapun Al Makkiah adalah Kelompok surat yang di turunkan sebelum nabi hijrah. Sedangkan Al Madaniah adalah kelompok surat yang di turunkan setelah nabi hijrah.
Peride mekah berlangsung kurang lebih 13 tahun dan peride Madinah kurang lebih 10 tahun. Jumlah surat yang diturunkan pada peride mekah berjumlah 86 surat sedangkan pada periode madinah berjumlah 28 surat. Perbedaan dua periode ini ditandai dengan perjalanan dakwah islam oleh rasul yaitu yang terdiri dari sebelum hijrah yang di sebut dalam periode mekah dan setelah hijrah disebut dengan peride madinah. Seperti yang telah digambarkan diatas bahwa al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur hal ini pernah mendapat ejekan dan kritikdari kaum kafir. Mereka mempertanyakan kenapa al-qur’an tidak diturunkan sekaligus karena kitab sebelum Al-Qur’an diturunkan sekaligus seperti Taurat( Musa), Injil 9Isa), dan Zabur (daud). Maka al-qur’an menjawab pertanyaan tersebut dengan firman Allah QS al-Furqon ayat 32.
Sedangkan perbedaan antara al Makkiyah dan Al Madaniah yaitu :
Ciri-ciri Makkiyah :
1.Setiap surat mengandung Lafal kalla (كل ) yang terulang sebanyak 33 kali dalam 15 surah.
2.Setiap surat yang terdapat ayat sajadah
3.Setiap surat yang di mulai dengan huruf muqantha’ah kecuali Al Baqarah, al I mron dan Ar-ra’d
4.Setiap surat yang terdapat kisah adam dan hawa kecuali Al baqarah
Ciri-ciri Madaniyah :
1.Umumnya berbicara tentang syara’, undang-undang sipil, kriminal, jihad, damai, peperangan, hukum waris, hak-hak individu, ekonomi dan sosial.
2.Berbicara tentang orang munafik, akhlak, dan perilaku mereka.
3.Perdebatan dengan akhlul kitab tentang akidah mereka.I.I Latar Belakang
Satu-satunya kitab suci yang murni berisikan perintah Allah adalah al-Qur’an.Kitab suci umat Islam yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umatnya, sebagai pedoman hidup supaya tidak salah langkah dalam menitih kehidupan di dunia dan sebagai pedoman dalam mencari bekal untuk kehidupan di akhirat yang kekal.
Dalam sejarahnya, firman Allah yang terkumpul didalam al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dengan waktu, dan tempat yang berbeda-beda. Sehingga al-Qur’an di zaman dahulu tidak berbentuk kitab atau buku seperti yang kita ketahui sekarang ini. Kemudian para ulama mengumpulkan firman-firman Allah tersebut menjadi satu kitab agar tidak hilang dan supaya lebih mudah dalam mempelajarinya.
Hikmah diturunkan Al-Qur’an secara bertahap :
1.
Agar lebih mudah
dimengerti dan dilaksanakan. Orang akan enggan melaksanakan suruhan, dan
larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal
ini disebutkan oleh Bukhari dari riwayat Aisyah ra.
2.
Diantara ayat-ayat
tersebut ada yang nasikh dan mansukh
3.
Turunnya suatu ayat
sesuai dengan peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih
berpengaruh di hati.
4.
Memudahkan penghafalan.
Orang-orang musyrik yang telah menyakan mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan
sekaligus, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Furqan : 32
5.
Diantara ayat-ayat ada
yang merupakan jawaban dari pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau
perbuatan, sebagaimana dikatakan oleh ibnu Abbas ra. Hal ini tidak dapat
terlaksana kalau Al-Qur’an diturunkan sekaligus.
Ulama berbeda pendapat
mengenai ayat yang pertama diturunkan. Pendapat
pertama yang shahih menurut Assuyuti adalah ayat pertama surat al ‘alaq,
Berdasarkana hadits yang
diriwayatkan oleh syaikhani, dan yang lain.Aisyah r.a. berkata, "yang pertama (dari wahyu) kepada Rasulullah
saw. adalah mimpi yang baik di dalam tidur. Beliau tidak pernah bermimpi
melainkan akan menjadi kenyataan seperti merekahnya cahaya subuh. Kemudian
beliau gemar bersunyi. Beliau sering bersunyi di Gua Hira. Beliau beribadah di
sana, yakni beribadah beberapa malam sebelum rindu kepada keluarga beliau, dan
mengambil bekal untuk itu. Kemudian beliau pulang kepada Khadijah. Beliau
mengambil bekal seperti biasanya sehingga datanglah kepadanya (dalam riwayat
lain disebutkan: maka datanglah kepadanya) kebenaran. Ketika beliau ada di Gua
Hira, datanglah malaikat seraya berkata, 'Bacalah!' Beliau berkata, 'Sungguh
saya tidak dapat membaca. Ia mengambil dan mendekap saya sehingga saya lelah.
Kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata,
'Sungguh saya tidak dapat membaca:' Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang
kedua kalinya, kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka,
saya berkata, 'Sungguh saya tidak bisa membaca' Lalu ia mengambil dan mendekap
saya yang ketiga kalinya, kemudian ia melepaskan saya. Lalu ia membacakan,
"Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq. Khalaqal insaana min'alaq. Iqra'
warabbukal akram. Alladzii 'allama bil qalam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam.
'Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang
mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya. Lalu Rasulullah saw. pulang dengan membawa ayat itu
dengan perasaan hati yang goncang (dalam satu riwayat: dengan tubuh gemetar).[2]
Pendapat
kedua, yang pertama kali
turun adalah firman Allah :
يَا أَيُّهَا
الْمُدَّثِّرُ
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan Syaikhani : Dari Abu salamah bin Abdurrahman; dia
berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin Abdullah: Yang manakah diantara
Quran itu yang turun pertama kali? Dia menjawab: Ya Ayyuhal Mudatsir. Aku bertanya lagi: ataukah Iqra bismi rabbik? Dia menjawab: aku
katakana kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah saw kepada kami: “sesungguhnnya
aku berddiam diri di gua Hira, maka ketika habis maasa diamku, aku tuun lalu
aku telusuri lembah. Aku lihat ke muka, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Lalu
aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat jibril yang amat menakutkan. Maka
aku pulang ke khadijah, khadijah memerintahkan mereka untuk menyelimutiku.
Merekapun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan : ‘Wahai orang yang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan.’
”[3]
Mengenai
pendapat kedua ini, Jabir menjelaskan bahwa yang pertama kali turun secara
penuh adalah surat al-Mudatsir, sebelum surat Al-‘Alaq tuntas diturunkan. Dan
surat Al-mudatsir turun setelah sekian lama wahyu terhenti turunnya. Jadi bisa
kita ambil kesimpulan bahwa ayat yang pertama turun adalah Iqra dan surat yang pertama turun untuk risalah adalah Al-mudatsir.
[1]
Jalaaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’I, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 1425-1426 H) h. 33
[2]
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari (e.book:
haditsWeb 3.0)
[3]
Manna’ Khalil al-Qattan, Terjemahan Drs. Mudzakkir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2004) Cet. 8,
h. 90-91
Adapun tahap tahap turunya al-qur’an ada 3 tahap, yaitu[1] :
1. Tahap pertama ( At-Tanazzulul Awwalu ), Al-Qur’an diturunkan atau ditempatkan di Lauh Mahfudh, yakni suatu tempat di mana manusia tidak bisa mengetahuinya secara pasti. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-Buruj : 21-22.
Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.Penjelasan mengenai sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di Lauh Mahfudh, dan bagaimana caranya adalah merupakan hal-hal gaib yang menjadi bagian keimanan dan tidak ada yang mampu mengetahuinya selain dari Allah swt. Dalam konteks ini Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus maupun secara keseluruhan. Hal ini di dasarkan pada dua argumentasi.
Pertama: Karena lahirnya nash pada ayat 21-22 surah al-Buruj tersebut tidak menunjukkan arti berangsur-angsur. Kedua: karena rahasia/hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tidak cocok untuk tanazul tahap pertama tersebut. Dengan demikian turunnnya Al-Qur’an pada tahap awal, yaitu di Lauh Fahfudz dapat dikatakan secara sekaligus dan tidak berangsur-angsur.
2. Tahap kedua (At-Tanazzulu Ats-Tsani), Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul `Izzah di Sama’ al-Dunya (langit dunia), yakni setelah Al-Qur’an berada di Lauh Mahfudh, kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul `Izzah di langit dunia atau langit terdekat dengan bumi ini. Banyak isyarat maupun penjelasannya dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW. antara lain sebagai berikut dalam Surat Ad-Dukhan ayat 1-6 :
Artinya: Ha-Mim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Ad-Dukhan 1-6).Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw bersabda: Al-Qur’an itu dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, kemudian mulailah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.
Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit selama duapuluh tahun.
3. Tahap ketiga (At-Tanazzulu Ats-tsaalistu), , Al-Qur’an turun dari Baitul-Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad SAW., yakni setelah wahyu Kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkan ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian pada tahap ketiga Al-Qur’an disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw dengan melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini antara lain tersebut dalam QS Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan :32 sebagai berikut:
Artinya : Ia (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (Asy-Syu`ara’: 193-194).
Artinya : Berkatalah orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. Demikianlah supaya Kami perbuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkan) dan membacakannya kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).
. Pengertian Jam’ul Qur’an
Kata al-Jam’u
berasal dari kata ”Jama’a – Yajma’u _ Jam’an” yang berarti
pengumpulan atau penghimpunan.[3] Adapun makna al-Qur’an menurut bahasa,
kata qur’an adalah bentuk masdar (kata benda verbal) dari qara’a
yang berarti membaca, baik membaca dengan melihat tulisan ataupun secara menghafal.[4] Jadi Jam’ul
Qur’an berarti upaya mengumpulkan al-Quran yang berserakan untuk
diteliti dan diselidiki.
Manna’ al-Qattan membagi
pengertian Jam’ul Qur’an ke dalam dua
bagian yaitu:
1.
Jam’ul Qur’an dalam arti hifzuhu(menghafalnya dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah
kepada Nabi. Nabi senantiasa menggerak;gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk
membaca al-Qur’an ketika diturunkan kepadanya.
2. Jam’ul
Qur’an dalam arti
kitabuhu kullihi(penulisan al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan
ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap
surah ditulis dalam suatu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan
ayat-ayat dan surah-surahnya, sebagian ditulis sesudah bagian yang lain.[5]
Sebagian besar literature yang
membahas tentang ilmu-ilmu al-Qur’an menjelaskan bahwa Jam’ul Qur’an meliputi proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan
catatan dan kodifikasi hingga menjadi mushaf al-Qur’an.
Jadi pengertian Jam’ul-Qur`ân adalah
pengumpulan al-Qur`an. Maknanya mencakup dua pengertian, seiring dengan
prosesnya itu sendiri, yakni hifzhuhu; penghafalan dan kitâbatuhu kullihi;
penulisannya secara keseluruhan.[1] As-Shabuniy membahasakannya al-jam’ fis-shudûr; pengumpulan dalam dada
dan al-jam’ fis-suthûr; pengumpulan
dalam tulisan[2]
Di sini kita perlu
memperhatikan penggunaan kata ‘pengumpulan' bukan ‘penulisan'. Dalam
komentarnya, al-Khattabi menyebut, "Catatan ini memberi isyarat akan
kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas tersendiri. Sebenarnya, Kitab
Al-Qur'an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja belum
disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun."[3] Penyusunan Al-Qur'an dalam satu jilid utama (master
volume) boleh jadi merupakan satu tantangan karena nasikh mansukh yang
muncul kemudian dan perubahan ketentuan hukum maupun kata-kata dalam ayat
tertentu memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat. Hilangnya satu format
halaman akan sangat merendahkan penyertaan ayat-ayat yang baru serta surahnya
karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat sebelum Nabi Muhammad
wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad berarti wahyu berakhir untuk selamanya.
Tidak akan terdapat ayat lain, perubahan hukum, serta penyusunan ulang. Ini
berarti kondisi itu telah mapan dalam waktu yang tepat guna memulai penyatuan
Al-Qur'an ke dalam satu jilid. Tidak ada keraguan yang dirasakan dalam
pengambilan keputusan dan kebijaksanaan dan bahkan telah memaksa masyarakat
mempercepat pelaksanaan tugas ini. Allah swt. memberi bimbingan para sahabat
dalam memberi pelayanan terhadap AlQur'an sebagaimana mestinya memenuhi janji
pemeliharaan ' selamanya terhadap Kitab-Nya,[4]
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا
لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”
Ibn Hajar al-’Asqalaniy
sedikit berbeda memaknai Jam’ul-Qur`ân. Menurutnya, walaupun al-jam’ bisa
bermakna al-hifzh, tapi dalam kaitannya dengan proses pengumpulan al-Qur`an,
maknanya menjadi khusus, yakni mengumpulkan al-Qur`an ke dalam shuhuf di zaman
Abu Bakar dan mengumpulkannya kembali ke dalam mushhaf di zaman ‘Utsman. Hal
ini didasarkan pada tarjamah al-Bukhariy dalam kitabnya, al-Jâmi’ as-Shahîh,
ditambah sebuah pernyataan Zaid ibn Tsabit: "Saat Nabi Muhammad wafat,
Al-Qur'an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku."[5]
Sebagaimana di atas,
proses Jam’ul-Qur`ân di masa Nabi Saw mencakup dua kegiatan, yaitu penghafalan
dan penulisan. Kegiatan penghafalan
itu terdapat dalam hadits berikut ini:
Dari Ibn ‘Abbas perihal
firman Allah Ta’ala “Janganlah kau menggerakkan lisanmu karena tergesa-gesa”:
Rasulullah Saw merasa berat ketika turun wahyu sampai beliau menggerak-gerakkan
kedua bibirnya. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kau gerak-gerakkan
lisanmu karena tergesa-gesa. Sesungguhnya tangung jawab kami mengumpulkannya
dan membacakannya.” Ibn ‘Abbas berkata: Yaitu mengumpulkannya dalam dadamu dan
kau mampu membacanya. “Maka apabila Kami membacakannya, maka ikutilah
bacaannya.” Yaitu perhatikanlah dan diamlah. “Kemudian sesungguhnya tanggung
jawab kami menjelaskannya.” Yaitu, sesungguhnya tanggung jawab kami kau dapat
membacakannya. Maka Rasul Saw setelah itu apabila Jibril datang kepadanya,
beliau menyimaknya. Dan apabila Jibril telah pergi, Nabi Saw membacakannya
sebagaimana Jibril membacakannya[6]
Jelas sekali dalam
riwayat tersebut jam’ bermakna hafalan. Dan Nabi Saw melakukannya dengan
jaminan penuh dari Allah Swt akan keakuratannya. Selain itu, Nabi Saw juga
menggiatkan para shahabat untuk bisa membaca al-Qur`an di luar kepala.
[1]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum
al-Qur`an, (Riyadl : Mansyurat al-’Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M), h.
118-119
[2]
Muhammad ‘Aliy as-Shabuniy, at-Tibyan fi
‘Ulum al-Qur`an, (Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1405 H/1985 M), h. 49
[3]
Jalaaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’I, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 1425-1426 H) h. 164
[4]
Prof. Dr. M. M A’zami, The History of The
Quranic Text from revelation to compilation, (ebook: UNIVERSITAS ISLAM INTERNATIONAL MALAYSIA (UIIM), 2005)
[5]
Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar al-’Asqalaniy, Fath al-Bari bi Syarh Shahih
al-Bukhariy, (ebook,Beirut : Dar al-Fikr, 1420 H/2000 M), Jilid 10, h. 13
[6]
Ibnu Hajar Al-Atsqalani, terjemahan Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari, (Jakarta selatan : Pustaka
Azzam, 2002) h. 47
Jam’ul-Qur`ân artinya
pengumpulan al-Qur`an. Maknanya mencakup dua pengertian, seiring dengan
prosesnya itu sendiri, yakni hifzhuhu; penghafalan dan kitâbatuhu kullihi;
penulisannya secara keseluruhan.[1] As-Shabuniy membahasakannya al-jam’ fis-shudûr; pengumpulan dalam dada
dan al-jam’ fis-suthûr; pengumpulan
dalam tulisan[2]
Di sini kita perlu
memperhatikan penggunaan kata ‘pengumpulan' bukan ‘penulisan'. Dalam
komentarnya, al-Khattabi menyebut, "Catatan ini memberi isyarat akan
kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas tersendiri. Sebenarnya, Kitab
Al-Qur'an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja belum
disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun."[3] Penyusunan Al-Qur'an dalam satu jilid utama (master
volume) boleh jadi merupakan satu tantangan karena nasikh mansukh yang
muncul kemudian dan perubahan ketentuan hukum maupun kata-kata dalam ayat
tertentu memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat. Hilangnya satu format
halaman akan sangat merendahkan penyertaan ayat-ayat yang baru serta surahnya
karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat sebelum Nabi Muhammad
wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad berarti wahyu berakhir untuk selamanya.
Tidak akan terdapat ayat lain, perubahan hukum, serta penyusunan ulang. Ini
berarti kondisi itu telah mapan dalam waktu yang tepat guna memulai penyatuan
Al-Qur'an ke dalam satu jilid. Tidak ada keraguan yang dirasakan dalam
pengambilan keputusan dan kebijaksanaan dan bahkan telah memaksa masyarakat
mempercepat pelaksanaan tugas ini. Allah swt. memberi bimbingan para sahabat
dalam memberi pelayanan terhadap AlQur'an sebagaimana mestinya memenuhi janji
pemeliharaan ' selamanya terhadap Kitab-Nya,[4]
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا
لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”
Ibn Hajar al-’Asqalaniy
sedikit berbeda memaknai Jam’ul-Qur`ân. Menurutnya, walaupun al-jam’ bisa
bermakna al-hifzh, tapi dalam kaitannya dengan proses pengumpulan al-Qur`an,
maknanya menjadi khusus, yakni mengumpulkan al-Qur`an ke dalam shuhuf di zaman
Abu Bakar dan mengumpulkannya kembali ke dalam mushhaf di zaman ‘Utsman. Hal
ini didasarkan pada tarjamah al-Bukhariy dalam kitabnya, al-Jâmi’ as-Shahîh,
ditambah sebuah pernyataan Zaid ibn Tsabit: "Saat Nabi Muhammad wafat,
Al-Qur'an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku."[5]
Sebagaimana di atas,
proses Jam’ul-Qur`ân di masa Nabi Saw mencakup dua kegiatan, yaitu penghafalan
dan penulisan. Kegiatan penghafalan
itu terdapat dalam hadits berikut ini:
Dari Ibn ‘Abbas perihal
firman Allah Ta’ala “Janganlah kau menggerakkan lisanmu karena tergesa-gesa”:
Rasulullah Saw merasa berat ketika turun wahyu sampai beliau menggerak-gerakkan
kedua bibirnya. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kau gerak-gerakkan
lisanmu karena tergesa-gesa. Sesungguhnya tangung jawab kami mengumpulkannya
dan membacakannya.” Ibn ‘Abbas berkata: Yaitu mengumpulkannya dalam dadamu dan
kau mampu membacanya. “Maka apabila Kami membacakannya, maka ikutilah
bacaannya.” Yaitu perhatikanlah dan diamlah. “Kemudian sesungguhnya tanggung
jawab kami menjelaskannya.” Yaitu, sesungguhnya tanggung jawab kami kau dapat
membacakannya. Maka Rasul Saw setelah itu apabila Jibril datang kepadanya,
beliau menyimaknya. Dan apabila Jibril telah pergi, Nabi Saw membacakannya
sebagaimana Jibril membacakannya[6]
Jelas sekali dalam
riwayat tersebut jam’ bermakna hafalan. Dan Nabi Saw melakukannya dengan
jaminan penuh dari Allah Swt akan keakuratannya. Selain itu, Nabi Saw juga
menggiatkan para shahabat untuk bisa membaca al-Qur`an di luar kepala.
[1]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum
al-Qur`an, (Riyadl : Mansyurat al-’Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M), h.
118-119
[2]
Muhammad ‘Aliy as-Shabuniy, at-Tibyan fi
‘Ulum al-Qur`an, (Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1405 H/1985 M), h. 49
[3]
Jalaaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’I, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 1425-1426 H) h. 164
[4]
Prof. Dr. M. M A’zami, The History of The
Quranic Text from revelation to compilation, (ebook: UNIVERSITAS ISLAM INTERNATIONAL MALAYSIA (UIIM), 2005)
[5]
Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar al-’Asqalaniy, Fath al-Bari bi Syarh Shahih
al-Bukhariy, (ebook,Beirut : Dar al-Fikr, 1420 H/2000 M), Jilid 10, h. 13
[6]
Ibnu Hajar Al-Atsqalani, terjemahan Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari, (Jakarta selatan : Pustaka
Azzam, 2002) h. 47
B. Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Nabi
Kodifikasi atau pengumpulan
al-Qur’an telah dimulai sejak zaman Rasulullah saw, bahkan telah dimulai sejak
masa-masa awal turunnya al-Qur’an. Sebagaimana diketahui, al-Qur’an diturunkan
secara berangsur-angsur, hal ini disesuaikan dengan keadaan Rasulullah dan agar
lebih mudah untuk menghafalnya baik oleh Nabi maupun para sahabat.
Pengumpulan ayat-ayat
al-Qur’an di masa Nabi saw terbagi atas dua kategori:
1.
Pengumpulan
al-Qur’an dalam dada.
Artinya:
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak
cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami
Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah penjelasannya.[7]
Para sahabat langsung menghafal al- Qur’an tersebut di luar kepala setiap kali Rasulullah saw menyampaikan wahyu
kepada mereka. Hal ini bisa mereka lakukan oleh mereka dengan mudah terkait
dengan kultur(budaya) orang Arab yang menjaga peninggalan nenek moyang mereka
dengan cara hafalan.
Manna’al-Qattan mengutip hadits dari
kitab Shahih Bukhari tentang tujuh hafidz, melalui tiga riwayat. Mereka
adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muas bin Jabal, Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.[8]
2. Pemeliharaan al- Qur’an dengan tulisan
Walaupun Nabi Muhammad saw dan para sahabat menghafal ayat-ayat al-Qur’an
secara keseluruhan, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu Ilahi beliau tidak
hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan.
Sejarah menginformasikan bahwa setiap ayat yang turun Rasulullah memanggil
sahabat sahabat yang dikenal pandai menulis. Rasulullah mengangkat beberapa
penulis wahyu seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Bila
ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan di mana
tempat ayat tersebut dalam surat. Ayat- ayat Al-Qur’an mereka tulis pada pelepah kurma, lempengan batu, kulit dan
tulang binatang[9].
Tulisan-tulisan al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf.
Biasanya yang ada ditangan seorang sahabat misalnya belum tentu dimiliki olehn
yang lainnya. Menurut para ulama, di antara sahabat yang menghafal seluruh isi
al-Qur’an ketika Rasulullah masih hidup adalah Ali bin Abi Thalib, Muadz bin
Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud.[10]
Al–Zarqani menyebutkan dalam kitabnya Manahil al-Irfan bahwasanya
faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga al-Qur’an tidak dibukukan pada masa
Nabi adalah sebagai berikut:
a. Sarana tulis menulis pada waktu itu sangat
minim dan sangat susah mendapatkannya.
b. Nabi senantiasa menunggu kontinius wahyu karena
adanya ayat-ayat yang dinasakh setelah diturunkannya.
c. Ayat-ayat tidak diturunkan sekaligus
d. Ayat-ayat al-Qur’an turun pada umumnya
sebagai jawaban dari suatu pertanyaan atau kondisi masyarakat sehingga tidak
turun dalam keadaan tersusun ayatnya.[11]
Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa sejak zaman
Rasulullah telah terjadi pengumpulan al-Qur’an walaupun tulisan tersebut belum
dalam bentuk mushaf seperti sekarang, tetapi ini cukup menjadi bukti bahwa
sudah ada penulisan al-Qur’an pada saat itu.
1.
Faktor-faktor pendorong
jam’u Al-Qur’an pada masa Nabi
Pada masa nabi Muhammad
saw jam’u Al-Qur’an belum sepenuhnya didasari oleh kesadaran umat atau sahabat
untuk mengkodifikasikan Al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh keberadaan nabi itu
sendiri di tengah umatnya. Sehingga setiap persoalan yang dihadapi selalu bisa
ditemukan solusinya lansung kepada rasulullah. Bisa dikatakan jam’u Al-Qur’an
di masa Nabi tersebut merupakan perintah lansung dari nabi Muhammad saw, baik
penghafalan maupun penulisan. Hal ini tidak terlepaas dari firman Allah
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا
لَهُ لَحَافِظُونَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar