Minggu, 24 September 2017

rasm quran

Pengertian Rasm Al-Qur'an
Rasm al-Quran yang disebut juga rasm utsmani ialah penulisan al-Qur'an oleh para sahabat dengan kaidah khusus yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan bahasa Arab. Kaidah ini teringkas dalam enam kaidah;

  1. Al–Hadzf (membuang,menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
  2. Al-Ziyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
  3. Al-Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh (ائذن ).
  4. Badal (penggantian),  seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
  5. Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
  6. Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif (yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).

C. Susunan Ayat Dan Surah Dalam Rasm Utsmani
Dalam Al-Itqan, As-Suyuthi mengatakan bahwa berdasarkan Ijma dan nash-nash yang ada, susunan surat dan ayat dalam al-Qur'an adalah tawqifi. Ijma' tentang urutan ayat dan surat ini telah dinukil oleh sebagian besar ulama, diantaranya adalah Az-Zarkasyi dalam kitab "Al-Burhan", dan Abu Ja'far bin Zubair dalam kitab "Al-Munasabat".

Sedangkan dari nash diantaranya adalah hadits riwayat Zaid bin Tsabit, ia berkata:
كنا نؤلفُ القرآن من الرِّقاع

"Kami menulis al-quran dari riqa', yakni mengumpulkannya untuk menertibkannya"

Dan  banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan.

Nama surat juga tawqifi. Dalilnya ialah hadits Muslim dari Abuh Hurairah:

ان البيت الذى تقرأ فيه البقرة لا يدخله شيطان

"Sesungguhnya rumah yang dibacakan surat al-Baqarah tidak akan kemasukan syetan". (HR. Muslim)

Ulama yang mengatakan bahwa urutan surah bukan tawqifi, tetapi hasil ijtihad para sahabat menggunakan dalil dari hadits riwayat Muslim dari Hudzaifah yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW dalam sebuah shalat pada rakaat pertama membaca surat An Nisa dan pada rakaat kedua membaca surat Ali Imran. Ini membuktikan bahwa urutan surat dalam al-Qur'an adalah hasil ijtihad para sahabat, seperti yang dikatakan al-Qadli 'Iyadl.

D. Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani
Mushaf-mushaf yang dikirim Utsman ke seluruh penjuru negeri yang disebut sebagai rasm utsmani, adalah mushaf yang wajib diikuti berdasar kesepakatan para ulama, meskipun kita tidak begitu mengerti apa hikmah dibalik perbedaan metode penulisan Rasm Utsmani dengan kaidah-kaidah penulisan dalam bahasa Arab. Hukum wajib ini bukan tanpa alasan. Menurut sebagian ulama rasm utsmani telah disepaki oleh 12000 sahabat. Kesepakatan ini menjadikan sebuah kewajiban bagi kita untuk ittiba'. Rasulullah SAW memerintahkan kita berpegang teguh terhadap sunnah beliau dan sunnah-sunnah khulafa'ur rasyidin.

Imam Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena mereka lebih banyak ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar amanahnya.

Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli al-Magrabi mengatakan bahwa hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm utsmani adalah haram. Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan Al-Qur'an yang tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian kalangan awam atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam membaca al-Qur'an dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat diterima karena ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian besar sahabat dan para ulama sesudahnya.

Jika ditanya, mengapa kita tidak memakai mushaf Abu Bakar saja, padahal mushaf tersebut ada sebelum mushaf utsman? Jawabannya adalah bahwa mushaf Abu Bakar mengumpulkan ketujuh wajah qira'ah di mana di dalam penulisannya mengakibatkan adanya perbedaan antar satu qira'ah dengan qari'ah yang lain, untuk menghindari kerancuan. Lagi pula mushaf Abu Bakar telah sirna karena ikut tercuci saat Hafshah binti Umar ummul mukminin meninggal. Sedangkan mushaf utsman dinukil dari mushaf Abu Bakar yang hanya menuliskan satu qiraah yakni qiraah dengan dialek bahasa bangsa Quraisy.

E. Rasm Utsmani Diantara Qira'ah-Qira'ah Yang Lain
Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abbas, beliau berkata bahwa Rasulullah bersabda:

أقرأنى جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستزيد ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف

"Jibril membacakan kepadaku satu huruf (bacaan) al-Qur'an lalu saya mengikutinya. Tidak henti-hentinya saya memintanya mengulangi. Dan dia mengulanginya hingga sampai tujuh (macam) bacaan". (HR. Bukhari).

Hadits ini adalah dalil bahwa Al-Qur'an memang diturunkan dengan tujuh macam qira'ah. Ketujuhmacam qiraah tadi adalah shahih berdasar pengajaran Jibril kepada Rasulullah dan ketujuh macam qiraah tadi juga disampaikan semuanya kepada sahabat.

Sebagaimana dijelaskan di atas mengikuti rasm utsmani adalah wajib. Hukum wajib ini akan bertentangan dengan status shahih dari qiraah yang lain dan bisa mengharamkan qiraah sahih dan mutawatir lain yang tidak sesuai dengan rasm utsmani. Syeikh Muhammad Ali Ad Dlibagh mengatakan bahwa, rasm utsmani adalah salah satu rukun dari rukun-rukun ketujuh qira'ah al-Qur'an, maka setiap qira'ah sama sekali tidak bertentangan dengan rasm utsmani. Beliau menambahkan bahwa ketika seseorang menulis al-Qur'an yang di dalamnya ada qiraah yang berbeda dan harus menggunakan tulisan yang berbeda pula, maka yang harus dilakukan menulisnya sesuai dengan rasm utsmani lalu memberinya harakat atau tanda-tanda lain, sehingga ia tidak dikatakan menyalahi mushaf utsmani. Sebab yang diharuskan mengikuti rasm utsmani ialah hanya bentuk penulisan.

F. Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm Utsmani
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian mereka berpendapat bahwa rasm utsmani adalah tauqifi, dan diajarkan oleh rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah membacakan ayat al-Quran di hadapan Zaid bin Tsabit untuk ditulis (imla'), seperti penulisan واخشوني dengan menggunakan ya' pada surat Al-Baqarah dan tanpa ya' dalam surat Al-Maidah. Contoh-contoh lain banyak di dalam al-Quran, yang semuanya disaksikan sekelompok besar sahabat. Semua dasar itu membuktikan rasm al-Qur'an adalah tawqifi bukan hasil hasil ijtihad para sahabat. Alasan lain adalah sudah ditulisnya al-Qur'an sejak zaman Rasulullah SAW, meski tidak terkumpul dalam satu tempat dan urutan surat yang belum ditertibkan.

Pendapat yang mengatakan rasm utsmani bukan tauqifi melainkan hasil ijtihad sahabat memberikan alasan sebagai berikut:
  1. Rasulullah adalah seorang ummi, tidak bisa membaca dan menulis, meskipun ini merupakan mukjizat bagi beliau.
  2. Zaid bin Tsabit tidak akan berbeda pendapat dengan sahabat yang lain pada kalimah التابوت apakah ditulis dengan ta' atau ha' (tak ta'nits), hingga akhirnya sampai ke telinga Utsman dan beliau memerintahkan menulisnya dengan ta'.
  3. Jika rasm utsmani tawqifi, maka tidak akan terjadi perbedaan diantara mushaf-mushaf yang beliau kirim ke berbagai daerah.
  4. Jika tawqifi, maka Imam Malik tidak akan memperbolehkan penulisan al-Qur'an untuk bahan pelajaran anak-anak yang tidak sesuai dengan rasm utsmani
Meskipun para ulama ini mengatakan demikian, bukan berarti berika meremehkan para sahabat penulis al-Qura'n, menganggap mereka telah berbuat teledor atau menganggap mereka bodoh dan tidak paham akan kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab, seperti yang didengungkan para orientalis atau kaum Syiah yang menganggap para sahabat penulis al-Qur'an telah berkhianat dengan melakukan tahrif dan taghyir pada al-Qur'an serta membuang banyak ayat al-Qur'an diantaranya adalah ayat yang menjelaskan keberhakan 'Ali bin Abi Thalib atas kursi khalifah sesudah Rasulullah SAW. Ingatlah Allah menjamin  Al-Quran melalui firmanNya:

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

"Sesunggunya kami telah menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya kami akan melindunginya".

G. Usaha Ulama dalam menerjemahkan Gaya Penulisan Mushaf

Banyak para ulama yang berusaha menerjemahkan gaya penulisan mushaf utsmani yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan arab yang baku. Banyak alasan-alasan dan hikmah-hikmah yang mereka kemukakan dibalik tulisan mushaf itu. Namun hal ini hanya sebagai penghibur dan pemanis, karena alasan-alasan dan hikmah itu diciptakan jauh sesudah para sahabat wafat, dimana mereka meninggalkan rasm yang tidak diketahui hikmahnya dan tidak dipahami petunjuknya, tanpa memandang alasan-alasan nahwiyah atau sharfiyah yang sudah tercipta.

Diantara hikmah-hikmah itu ialah:
  1. Pembuangan alif dalam بسم الله adalah untuk mempermudah dan meringankan, karena sering digunakan. Ada yang mengatakan bahwa karena alif dibuang maka sebagai petunjuk pembuangan alif, awal penulisan ba' dibuat panjang.
  2. Pembuangan wawu pada ayat يمح الله الباطل berfungsi sebagai petunjuk akan cepat hilangnya kebatilah.
  3. Penambahan ya' pada والسماء بنينها بإييد berfungsi untuk membedakan lafadz أيدي  yang bermakna kekuatan dan yang bermakna tangan.
  4. Penambahan Alif pada لا اذبحنه berfungsi sebagai petunjuk bahwa penyembelihan tidak terjadi, seolah-olah لا dalam ayat itu adalah nafiyah.

Kamis, 14 September 2017

ulumul qur'an

JAM’UL QUR’AN PADA MASA KHULAFA AR-RASYIDIN



DISUSUN OLEH :


RINI KHOLILAH HASIBUAN 1630200047
  YULIA ZAHARA            1630200040



DOSEN PEMBIMBING

ZILFARONI, S.Sos.I.MA


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
T.A 2017/2018



KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan izin dan rahmat Allah SWT, Penulis dapat menghantarkan kepada para pembaca sebuah makalah dengan judul JAM’UL QUR’AN PADA KHULAFAH AR-RASYIDIN.
Makalah ini diusun pertama dan utama sekali sebagai makalah mata kuliah Ulumul Qur’an untuk para pembaca.Kami menyadari dan menyakini bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang kami sadari ataupun yang tidak kami sadari.Oleh karena itu kami mengharap kritik dari makalah ini.
Namun begitu,meskipun makalah ini jauh dari kata sempurna kami berharap agar makalah ini sedikit banyaknya dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Kami mengucapkan banyak terimahkasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam pembuatan makalah ini.


Padangsidimpuan, 9 September 2017

Penulis

























JAM’UL QUR’AN PADA MASA KHULAFA AL RASYIDIN


PENDAHULUAN

Al Qur’an merupakan sumber Nash yang paling utama dan tidak ada hukum yang tidak disandarkan kepada al Qur’an. Setiap melakukan istinbat hukum perlu ada rujukan dari al Qur’an apabila tidak ada dalam al Qur’an baru dipakai sumber hukum yang lain selagi tidak bertentangan dengan al Qur’an.

Pada awal keislaman ketika Rasulullah SAW masih hidup al Qur’an masih ditulis dan disimpan di dalam dada para sahabat dan sedikit yang menulis al Qur’an kecuali orang-orang ertentu yang diberi wewenang oleh Rasul untuk menulisnya.

Para sahabat terutama pada Zaman Khulafa al Rasyidin telah berjasa besar dalam emngkodifikasikan al Qur’an sehingga kita dapat menemui al Qur’an dalam bentuk teks, bagi umat Islam yang bukan orang Arab dapat menghafalnya melalui kitab-kitab yang sudah dtarjih tersebut.

Al Qur’an yang kita dapati sekarang adalah hasil karya Khulafa al Rasyidin dengan modifikasi-modifikasi yang berkembang guna memudahkan kita dalam memahami al Qur’an dan ini merupakan salah satu cara Allah SWt memelihari al qur’an yang diturunkannya kepada kita.

Rumusan Masalah
Apa pengertian Jam’ul Qur’an ?
Bagaimana cara pengumpulan Al-Qur’an pada masa khulafah Ar-Rasyidin?
Apa factor-faktor Jam’ul Qur’an pada masa khulafah Ar-Rasyidin?


PEMBAHASAN


Pengertian Jam’ul Qur’an pada masa Klulafa al Rasyidin
Kata Al-Jam’u berasal dari kata “jama’a – Yajma’u – Jam’an” yang berarti pengumpulan atau penghimpunan.1 Adapun makna Al-Qur’an menurut bahasa, kata qur’an adalah bentuk masadr (kata benda verbal ) dara qara’a yang berarti membaca, baik membaca dengan melihat tulisan ataupun secara menghapal.2 Jadi Jam’ul Qur’an berarti upaya mengumpulkan Al-Qur’an yang berserakan untuk diteliti dan diselidiki.
Mengetahui kata-kata Jam’ul Qur’an perlu kita mengenal pengertiannya secara bahasa, menurut fairuz Abady di dalam bukunya Tartibul Qomus Almuhit menyatakan bahwa al jam’u adalah menyatukan sesuatu yang bertebaran, menurut pendapat Jauhuri dalam Assahah mengatakan bahwa al Jam’u yaitu mengumpulkan sesuatu yang menjadikannya dalam sebuah kumpulan, dengan mengumpulkan beberapa koleksi yang berbeda-beda dari berbagai tempat hingga menjadi sebuah kumpulan. Jadi makna aljam’u adalah proses pengumpulan dan penulisan tercakup dalam berbagai koleksi yang tersebar diberbagai tempat dan dikumpulkan dalam satu kumpulan khusus yang bisa menjadikan sesuatu tersebut dapat di ambil untuk menjadi rujukan.

Mannaal Khaththan menyatakan jam’ul tersebut dalam dua definisi secara umum yaitu :
Al Jam’u bermakana hafalan, al Qur’an dijaga oleh para sahabat dengan hafalannya maka setiap ingin mengetahui isi al Qur’an tersebut Rasulullah menyuruh para sahabat untuk memenemui 7 orang sahabat yang biasa dipercayai oleh Rasulullah sebagai ajudannya dalam menghafal diantaranya yaitu; Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mu’qal budanya Abi Huzaifah, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
Aljam’u bermakna mencatat keseluruhan ayat-ayatnya. Membedakan antara ayat dan surat atau menertibkan ayat-ayat saja, atau menertibkan ayat dan surat di dalam satu mushaf  yang mencakup seluruh surat. Sahabat yang dipercayakan oleh Rasulullah dalam menulis al Qur’an adalah Ali bin Abu Tahlib, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit.

Pada masa awal Islam al Qur’an sudah dicatat oleh sahabat dalam berbagai wadah seperti ditulis di pelepah-pelepah korma dan lempengan batu dan lainya, namun kegiatan ini masih bersifat temporari tidak terkumpul dalam satu wadah tertentu, sehingga masih bertebaranan dimana-mana.
Setelah wafatnya Rasulullah kegiatan pengumpulan al Qur’an berkembang, tidak hanya dalam bentuk penulisan di lembaran-lembaran yang bertebaran saja namun penulisan ini dimaksudkan untuk mengumpulknnya dalam satu kumpulan mushaf sehingga proses tersebut dilakukan guna terwujudnya sebuah kumpulan kitab al Qur’an.
Dapat disimpulkan bahwa jam’ul Qur’an berarti merupakan kegiatan yang dilakukan oleh para sahabat setelah wafatnya Nabi SAW dengan jalan mengumpulkan seluruh mushaf dan catatan serta hafalan-hafalan yang tersebar sehingga terkumpul dalam satu kumpulan yang satu dan terjamin kebenarannya dengan ijtihad para sahabat dalam menjaga al Qur’an itu sendiri.
Pada masa Khulafah Ar-Rasyidin
Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada dasarnya seluruh Al-Quran sudah ditulis pada masa nabi. Hanya saja surat atau ayatnya masih terpencar- pencar dan orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushab adalah Abu Bakar Ash-Shidddiq. Saat itu tulisan Al-Qur’an masih terpencar-pencar pada pelepah kurma,batu halus,kulit,tulang unta,dan bantalan dari kayu.Abu Bakarlah yang kemudian berinisiatif menghimpun semuanya.3 Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar setelah terjadi perang Yamamah pada tahun 12 Hijriah. Peperangan yang bertujuan menumpas para pemurtad yang merupakan pengikut musailamah Al-Kadzdzab telah menyebabkan 70 orang sahabat penghapal Al-Qur’an syahid khawatir akan semakin hilangnya para penghapal Al-Qur’an yang mengancam kelestarian Al-Qur’an, Umar menemui khalifah pertama, Abu Bakkar dan memintanya untuk menginstruksikan pengumpulan Al-Qur’an dari berbagai sumber baik yang tersimpan didalam hapalan maupun tulisan.4
Pada awalnya proses pengumpulan al Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar terjadi pertentangan antara para sahabat sehingga memerlukan ijtihad untuk meyakinkan khalifah, sahabat yang menggagas pengumpulan al Quran ini adalah Umar bin Khaththab, pada awalnya gagasan Umar tersebut ditolak oleh Abu Bakar, namun setelah Umar meyakinkan Abu Bakar betapa pentingnya pengumpulan al Qur’an ini, ketika Abu Bakar menyampaikan hal yang sama kepada sahabat Zaid bin Harits beliau juga menolak tetapi setelah diyakinkan oleh Abu Bakar dan Umar barulah Zaid menerima dan mulai mengumpulkannya.

Peristiwa pertentangan antara sahabat dalam mengumpulkan al Qur’an ini diisyaratkan dengan khabar yang diriwayatkan oleh Ibnu Jurair dari anak  Zaid bin Tsabit Al Anshari dari bapaknya berkata tatkala banyaknya sahabat yang bergugguran pada perang Yamamah maka Umar bin Khaththab r.a. mendatangi Abu Bakar r.a. mengatakan sungguh para Sahabat Rasulullah SAW yang berada C
Kemudian Zaid berjuang untuk mengumpulkan Al Qur’an sampai mencarai akhir surat Attaubah yang tidak ada padanya dan hanya didapatkanya pada hafalan Abu Huzaimah Al Anshari, Al Qur’an yang dikumpulkan dan ditulis ini di pegang terus oleh Abu Bakar hingga Akhir hayatnya, al Quran ini juga di jaga oleh Umar hingga berakhir masa kekhalifahannya dan terakhir di pegang oleh Hafsah binti Umar.

Penulisan al Qur’an ini pada dasarnya bukan hanya Zaid sendiri yang memiliki catatan tersebut namun masih banyak sahabat-sahabat yang lain, namun haya Zaid yang dipercaya oleh Abu karena Zaid salah satu sahabat yang terkenal menjadi juru tulis wahyu dan memeiliki hafalan yang kuat.

Dalam pengumpulan al Qur’an ini ada dua teks al Qur’an pada awalnya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam yang pertama yaitu teks yang dibuat oleh Zaid bin Tzabit sendiri dan yang kedua adalah teks yang dibukukan oleh Ibnu Mas’ud, teks Ibnu Mas’ud ini kebanyakan di pakai di daerah Kuffah di Irak sebagaimana Ubay bin Ka’ab juga memiliki kitab kodifikasi sendiri namun kemudian di gantikan dengan Rasm Utsmani.

Menurut penilaian para ahli mufassir ketika mengkaji naskah yang dimiliki Ibnu Mas’ud ada terdapat beberapa perbedaan dengan nash yang di  buat oleh Zaid bin Tsabit. Salah satu contoh surat Contoh yang terdapat pada surat al Baqarah ayat 275 dimulai dengan kata-kata Allathiina yaakuluunar-ribaa laa yaquumuuna-"Orang-orang yang memakan riba tidak akan berdiri". Teks Ibn Mas'ud memiliki penggnalan yang sama tapi setelah kata terakhir ada ditambahkan ekspresi yawmal qiyaamati, yaitu, mereka tidak akan mampu berdiri pada "hari kiamat". Varian ini disebutkan dalam Abu Ubaid itu Kitab Fadhail Al-.

Dan contoh lain Surah 5.91, dalam teks standar, berisi ajakan fasiyaamu tsalaathati ayyaamin'-"puasa selama tiga hari". Teks Ibn Mas'ud setelah kata terakhir, mutataabi'aatin kata sifat, yang berarti tiga hari "berurutan". Varian berasal dari at- dan juga disebutkan oleh Abu Ubaid. Ini adalah bacaan signifikan yang  ditemukandalam teks Ubay bin Ka'b dalam teks Ibn Abbas dan murid Ibn Mas'ud Ar-Rabi bin Khuthaim.

Akhirnya,Zaid dipercayakan khalifah Abu Bakar untuk menghimpun Al-Qu’an. Zaid merasa bahwa tugas yang dipercayakan khalifah Abu Bakar padanya bukanlah hal yang ringan. Dalam melaksanakan tugasnya,Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya.Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hapalan,tanda didukung tulisan. Seorang sahabat  yang membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang dibawanya didukung oleh 2 hapalan atau tulisan sahabat lainnya. Demikian juga suatu hapalan ayat tertentu yang diwa oleh seorang sahabat dapat diterima bila dikuatkan oleh 2 catatan atau hapalan sahabat lainnya.
Pekerjaan yang dibebankan dipundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih 1 tahun yaitu pada tahun 13 H. Dibawah pengawasan Abu Bakar, Umar,dan para tokoh sahabat lainnya. Setelah penulisan ayat-ayat Al-Qur’an ini selesai, berdasarkan musyawarah ditentukan bahwa tulisa Al-Qur’an yang sudah terkumpul itu dinamakan Mushaf.
Setelah Abu Bakar wafat, suhuf –suhuf Al-Qur’an itu disimpan oleh khalifah Umar. Setelah Umar wafat , mushaf itu disimpan oleh hafsah dan bukan oleh Utsman Bin Affan sebagai khalifah yang menggantikan Umar.
Pada masa Utsman bin Affan.
Hadist nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari tentang alasan untuk menetapkan bentuk Al-Qur’an, menyiratkan terjadinya perbedaan-perbedaan diberbagai wilayah dalam Qira’at ( cara membaca ) Al- Qur’an yang terdapat dalam salinan-salina Al-Qur’an pada masa khalifah Utsman bin Affan mereka mnegalami kesulitan dalam bacaan dialeg Quraisy-suku tempat nabi berasal-yang harus dijadikan pilihan. Setelah merevisi keseluruhan Al-Qur’an dengan cermat, mereka membandingkannya dengan suhuf yang berada ditangan Hafsah,kemudian mengembalikan mushaf itu kepadanya ketika resensi Al-Qur’an telah selesai. Dengn demikian, suatu naskah abash Al-qur’an, yang sering juga disebut mushaf Utsmanitelah ditetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan kebeberapa wilayah utma daerah islam. Riwayat lain yang dikeluarkan oleh Abu Qulabah menjelaskan bahwa pada masa khalifah Utsman, seorang guru mengajarkan Qira’at tokoh tertentu sedangkan guru lainnya mengajarkan Qira’at tokoh lainnya. Murid-murid keduanya bertemu dan mengetahuinya terjadinya perbedaan diantara mereka.Persoalan ini terangkat sampai guru mereka yang pada gilirannya saling mengkafirkan antara satu lainnya.
Utsman memutuskan agar mushaf yang beredar memenuhi persyaratan berikut:
Terbukti mutawatir,tidak tertulis berdasarkan riwayat ahad.
Mengabaikan ayat yang bacaannya dinaskh dan ayat tersebut tidak dibaca kembali dihadapan nabi saat-saat terakhir.
Kronologi surat dan ayatnya seperti yang telah ditetapkan atau berbeda dengan mushaf Abu Bakar.
Sistem penulisan yang digunakan mampu mencakup qira’at yang berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh Al-qur’an ketika diturunkan.
Perbedaan penulisan Al-qur’an pada masa Abu Bakar dan masa Utsman bin Affan maka hal itu dapat dilihat berikut ini :


Pada masa Abu Bakar Pada masa Utsman bin Affan  
Motivasi penulisannya karena kekhawatiran sirnanya Al-Qur’an dengan syahidnya beberapa penghapal Al-qur’an pada perang yamamah
Abu Bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan tulisan Al-qur’an yang terpencar-pencar pada pelepah kurma,kulit,tulang,dan sebagainya.   Motivasi penulisannya karena banyakknya perselisihan didalam cara membaca Al-Qur’an ( Qira’at)
Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya Al-qur’an turun.

Faktor-faktor Jam’ul Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin
Pada awalnya proses pengumpulan al Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar terjadi pertentangan antara para sahabat sehingga memerlukan ijtihad untuk meyakinkan khalifah, sahabat yang menggagas pengumpulan al Quran ini adalah Umar bin Khaththab, pada awalnya gagasan Umar tersebut ditolak oleh Abu Bakar, namun setelah Umar meyakinkan Abu Bakar betapa pentingnya pengumpulan al Qur’an ini, ketika Abu Bakar menyampaikan hal yang sama kepada sahabat Zaid bin Harits beliau juga menolak tetapi setelah diyakinkan oleh Abu Bakar dan Umar barulah Zaid menerima dan mulai mengumpulkannya.

Peristiwa pertentangan antara sahabat dalam mengumpulkan al Qur’an ini diisyaratkan dengan khabar yang diriwayatkan oleh Ibnu Jurair dari anak  Zaid bin Tsabit Al Anshari dari bapaknya berkata tatkala banyaknya sahabat yang bergugguran pada perang Yamamah maka Umar bin Khaththab r.a. mendatangi Abu Bakar r.a. mengatakan sungguh para Sahabat Rasulullah SAW yang berada pada perang Yamamah sudah terdesak seperti terengah-engahnya kuda di neraka. Saya takut tidak akan bisa bertemu dengan mereka lagi, sedangkan mereka adalah penghafal al Qur’an, dengan sahidnya mereka akan memudarnya al Qur’an dan akan terlupakan jika tidak di kumpulkan dan di tulis ulang, pada awalnya Abu Bakar menolak melakukannya karena tidak mungkin dia membuat sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah hal yang sama juga dilakukan Zaid terhadap gagasan tersebut namun kemudian Umar meyakinkan keduanya. Kemudian setelah Umar bisa meyakinkan keduanya baru Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menulis Al Qur’an. Dalam kisah yang lain menyatakan bahwa saat setelah Umar meyakinkan Zaid kemudian Umar pergi lalu Zaid merasa mendapar petunjuk dalam dirinya bahwa apa yang disampaikan Umar tersebut adalah benar. Baru Zaid memulia mengumpulkan dan menulis Al Qur’an.

Kemudian Zaid berjuang untuk mengumpulkan Al Qur’an sampai mencarai akhir surat Attaubah yang tidak ada padanya dan hanya didapatkanya pada hafalan Abu Huzaimah Al Anshari, Al Qur’an yang dikumpulkan dan ditulis ini di pegang terus oleh Abu Bakar hingga Akhir hayatnya, al Quran ini juga di jaga oleh Umar hingga berakhir masa kekhalifahannya dan terakhir di pegang oleh Hafsah binti Umar.

Penulisan al Qur’an ini pada dasarnya bukan hanya Zaid sendiri yang memiliki catatan tersebut namun masih banyak sahabat-sahabat yang lain, namun haya Zaid yang dipercaya oleh Abu karena Zaid salah satu sahabat yang terkenal menjadi juru tulis wahyu dan memeiliki hafalan yang kuat.

Dalam pengumpulan al Qur’an ini ada dua teks al Qur’an pada awalnya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam yang pertama yaitu teks yang dibuat oleh Zaid bin Tzabit sendiri dan yang kedua adalah teks yang dibukukan oleh Ibnu Mas’ud, teks Ibnu Mas’ud ini kebanyakan di pakai di daerah Kuffah di Irak sebagaimana Ubay bin Ka’ab juga memiliki kitab kodifikasi sendiri namun kemudian di gantikan dengan Rasm Utsmani.

Menurut penilaian para ahli mufassir ketika mengkaji naskah yang dimiliki Ibnu Mas’ud ada terdapat beberapa perbedaan dengan nash yang di  buat oleh Zaid bin Tsabit. Salah satu contoh surat Contoh yang terdapat pada surat al Baqarah ayat 275 dimulai dengan kata-kata Allathiina yaakuluunar-ribaa laa yaquumuuna-"Orang-orang yang memakan riba tidak akan berdiri". Teks Ibn Mas'ud memiliki penggnalan yang sama tapi setelah kata terakhir ada ditambahkan ekspresi yawmal qiyaamati, yaitu, mereka tidak akan mampu berdiri pada "hari kiamat". Varian ini disebutkan dalam Abu Ubaid itu Kitab Fadhail Al-.

Dan contoh lain Surah 5.91, dalam teks standar, berisi ajakan fasiyaamu tsalaathati ayyaamin'-"puasa selama tiga hari". Teks Ibn Mas'ud setelah kata terakhir, mutataabi'aatin kata sifat, yang berarti tiga hari "berurutan". Varian berasal dari at- dan juga disebutkan oleh Abu Ubaid. Ini adalah bacaan signifikan yang  ditemukan dalam teks Ubay bin Ka'b dalam teks Ibn Abbas dan murid Ibn Mas'ud Ar-Rabi bin Khuthaim.
Jadi faktor utama timbulnya gagasan untuk mengumpulkan al Quran dan menulis ulang kembali karena banyaknya para sahabat yang sebagain besar adalah para penghafal al Quran, sahabat pada masa Khulafa al Rasyidin adalah ilmuwan sekaligus sebagai prajuri yang berjuang menegakkan kalilmat tauhid.

Perang Yamamah adalah pemicu awal terjadinya perang yang banyak menggugurkan para syuhada’ Islam Radiallahu Anhum, menurut sejarah yang termasyhur diantara sahabat yang meninggal tersebut diantaranya ada 70 orang sahabat yang dikenal kuat hafalannya, sehingga kejadian ini membuat khawatir Umar bin khahthab akan hilanbgnya al Qur’an dengan meninggalnya sebagian besar penghafal. Peristiwa ini yang memicu Umar mendesak Abu Bakar untuk memerintahkan pengumpulan Hadits, dan diantara empat sahabat yng masyhur penulis wahyu, maka Zaid dipilih sebagai pengumpul sebab Zaid selain penulis juga penghafal yang kuat dan Zaid selalu bersama Rasulullah sejak masa remajanya.

Masa khalifah Usman bin Affan al qur’an kembali di revisi ulang oleh khlifah, hal yang mendorong timbulnya gagasan kodifikasi ulang atau yang terkenal dengan “rasm” yaitu penulisan ulang terhadap nash-nash al Qur’an yang sudah di kodifikasikan sebelumnya gagasan ini timbul didorong oleh perbedaan bacaan para sahabat antara satu daerah dengan daerah lainnya, penyebab perbedaan bacaan al Qur’an karena al Qur’an itu turun dengan loghat yang berbeda juga.

Pemicu pertikaian dalam membaca al Qur’an ini timbul pada saat pertempuran Armenia dan Azarbaijan dengan warga Irak dan terdapatlah perbedaan bacaan al Qur’an antara Huzaifah dengan kelompok Irak kemudian Huzaifah mengirimkan surat kepada Usman untuk mencarikan solusi atas kejadian tersebut, jangan samapai pertikaian ini berujung pada rusaknya makna al Quran nantinya.

Dikenal bahwa al Qur’an tersebut turun dalam tujuh bahasa bangsa Qurays diwaktu itu, pendapat ulama pada umumnya bahwa al Qur’an turun dengan 7 (tujuh) bahasa diantaranya; Qurays, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kanaah, Tamim, dan Yaman.

Tujuh bahasa yang digunakan tersebut termasuk tujuh bahasa bangsa Arab yang terkenal padanya terdapat beberapa perbedaan secara bacaan sehingga perbedaan kecil ini menyebabkan perselisihan dikalang sahabat dalam membaca Al Qur’an dan mereka saling menyalahkan antra satu dengan yang lain. Peristiwa ini memicu terus berlanjut sehingga khlalifah berinisiatif untuk menyatukannya dan lahirlah Rasm usmani sebagai satu-satunya dasar pengambilan Nash al Qur’an, mushaf-mushaf selain dari Rasm Usmani dihapuskan termasuk yang di buat Ibnu Mas’ud dengan tujuan satu penyatuan umat Islam.

Tujuan Jam’ul Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin
Selama kekhalifahan Khulafa al Rasyidin terjadi dua kali perubahan yang siknifikan yang memberikan kontribusi yang urgen demi terjaganya nash al Qur’an serta terjaganya persatuan umat setelah wafanya nabi Muhammad SAW. Perubahan ini menunjukkan betapa seriusnya permasalahan diwakktu itu dan betapa bersungguh-sunguhnya para sahabat dalam menjaga al Qur’an sebagai Qonun utama umat Islam.

Tanpa ada usaha yang dilakukan oleh sahabat pada waktu itu kemungkinan besar al Qur’an akan tetap diperdebatkan kebenarannya namun Allah SWT sendiri sudah menjamin akan menjaga al Qur’an sebagaimana firmannya “sesungguhnya kami turunkan al Qur’an dan kami akan menjaganya” menurut penafsiran ini merupakan otoritas Allah dalam menjaga al Qur’an dengan menanamkannya dalam dada setiap umat Islam sehingg kecil kemungkinan terjadi penyelewengan.

Adapun tujuan utama pengumpulan al Qur’an itu ada dua bentuk diantaranya:
Pada masa khalifah Abu Bakar terjadi pergolakan politik dan agama sehingga muncul gerakan syahid untuk menumpas orang-orang yang murtad serta orang-orang yang enggan membayar zakat. Pergolakan tersebut banyak menyebabkan syahidnya sahabat-sahabat di medan pertempuran, kekhawatiran timbul dari Umar bin Khathab akan banyaknya para penghafal al Qur’an yang syahid sedangkan al Qur’an dalam wujud nyata masih ditulis di berbagai wadah yang tidak terkonsentrasi pada satu tempat. Kondisi seperti ini mendorong kodifikasi al Qur’an dengan tujuan teradapat dalam satu kumpulan mushhaf yang sudah ditarjih oleh para pengahafal al Qur’an serta diyakini oleh semua penulis al Qur’an yang masyhur tersebut.
Pada masa khalifah Usman bin Affan tujuan penyatuan al Qur’an berbeda alasannya dengan apa yang dilkukan Abu Bakar, pada masa khalifah ketiga Islam sudah bekembang pesat dan tersebar keberbagai tempat yang tidak hanya berpusat pada jazirah Arab saja namun juga sudah menyebar keberbagai daerah, sedanglkan pada awalnya al Qur’an tersebut diturunkan dalam tujuh bahasa resmi bangsa Arab. Bahasa-bahasa tersebut digunakan oleh seluruh masyarakat Islam sehingga ketiaka bertemu masyarakat antar daerah timbul perselishan antara satu dengan yang lain dan saling menyelahkan antara satu dengan yang lain, sebaga contoh mushaf yang dicatat zaid bin Tsabit berbeda dengan bacaan yang dibuat Ibnu Mas’ud, namun secara makna tidak berbeda hanya dalam bacaan saja yang berbeda. Maka dari permasalaha  ini timbul inisiatif untuk menjadikannya dalam satu bahasa yang dikenal dengan “Rasm Usamni” kemudian kitab ini di perbanyak menjadi lima buah.

Hikmah Jam’ul Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin
Perjuangan para sahabat dari masa Khulafa al Rasyidin hingga sekarang sangat berati sekali dalam pengembangan al Qur’an tanpa da usaha dan peranserta meraka maka al Qur’an yang kita dapati saat ini belum tentu terbukukan dengan baik yang berujung seperti hancurnya orang-orang  Yahudi dan Nasrani ketika mendapati Zabur dan Injil sebagai kitabnya, isi dan maknanya sudah berubah yang dibuat dengan sengaja oleh orang-orang sesudah nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.

Adapun hikmah yang dapat kita ambil dari hasil kodifikasi yang sudah dilakukan oleh sahabat-sahabat Radiallahu Anhum ini antara lain:
Ijmak merupakan dasar ketiga dari istinbat hukum sebaba dapat kita lihgat ketika Abu Bakar tidak langsung menolak atau menyuruk Zaid bin Tsabit untuk mengkodifikasikan al Qur’an.
Dalam menetapkan kebenaran dan memutusan sesuatu perlu dilakukan ijtihad yang mendalam serta dibutuhkan saksi yang dapat dipercaya kebenarannya, seperti Zaid dalam mencara akhir surat Attaubah yang didapatnya dari abu Hazaifah yang memiliki hafalan yang kuat.
Dengan prakarsa Umar bin Khaththab tersebut al Qur’an dapat di kumpulkan dari yang semula berserakan dipenjuru kota Mekkah dan Medinah hingga dalam satu Mushaf, tanpa ada upaya yang dilakukan pada zaman Abu Bakar tersebut belum tentu al Quran terbukukan hingga sekarang.
Upaya yang dilakukan Kalifah Usman bin Affan membuahkan hasil persatuan umat Islam, kalu tidak bisa jadi antara satu daerah dengan daerah lain berbeda bacaannya sehingga akan terpecah oleh karena berbeda pemahan bahkan akan berakibat  pada istinbat hukum.
Suatu perbuatan jadid diperboleh malahan dianjurkan selagi bertujuan demi kemaslahatan umat bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata.
BAB III
KESIMPULAN
Jam’ul Qur’an berarti mengumpulkan lembaran al Qur’an yang berada pada berbagai wadah seperti pelepah-kurma, lempengan-lempengan batu dan lainnya terkumpul dalam satu tempat.Ada dua faktor tekodifikasinya al Qur’an itu pertama didorong oleh banyaknya para penghafal al Qur’an yang gugur pada perang Yamamah melawan Musailamah Al Kazzab yang terjadi pada masa Kahalifah Abu Bakar Siddik . Abu Bakar mengadakan musyawarah dan menunjuk Zaid untuk menjadi pengumpul  Al-Qur’an . Masa pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan Zaid selama satu tahun .
 Kedua , terjadinya perselisihan umat Islam dalam mambaca al Qur’an sehingga menimbulkan perselisihan antara satu kaum dengan kaum lainnya dan Khalifah Usman bin Affan berinisiatif dengan menjadikannya dalam satu jenis bacaan guna menyatukan umatdan menarik semua Al-Qur’an yang beredar tetapi Al- Qur’an yang tidak terbukti mutawatirnya .
Tujuan al Qur’an dikodifikasikan adalah untuk menyatukan al Qur’an yang bertebaran dari satu lembaran dan dari seluruh hafalam sahabat sebelum ajal menjemput mereka sehingga dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.Hikmah pengkodifikasian al Qur’am adalah musyawarah dan ijtihad.



DAFTAR PUSTAKA



Ali bin Sulaiman Al ‘Abid, Jamul Qur’anul Karim Hafzan wa kItabatan, Maktabah Samilah Vol. 1
John Gilchrist, The Codification of the Qur'an Text a Comprehensive Study of the Original Collection of the Qur'an Text and the Early Surviving Qur'an Manuscripts, South of Africa, MERCSA, 1989
Mannaal Khaththan, Mabahis fi Ulumil Qur’an, Cet.2
Muhammad Sofa’ Syaikh Ibrahim Haqy, Ulumul Qur’an min Khilali Muqaddimah At Tafasir, Beirut: Arisalah, 2004 M/1465 H
Muhammad Salim Muhisin, Tarikh Al Qur’an Al Karim, Sanah Tsaiyah Jumadil Akhir, 1402 H

Selasa, 05 September 2017

Nuzul Qur'an dan Jam'ulQur'an pada nasa nabi

 Latar Belakang
Satu-satunya kitab suci yang murni berisikan perintah Allah adalah al-Qur’an.Kitab suci umat Islam yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umatnya, sebagai pedoman hidup supaya tidak salah langkah dalam menitih kehidupan di dunia dan sebagai pedoman dalam mencari bekal untuk kehidupan di akhirat yang kekal.
Dalam sejarahnya, firman Allah yang terkumpul didalam al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dengan waktu, dan tempat yang berbeda-beda. Sehingga al-Qur’an di zaman dahulu tidak berbentuk kitab atau buku seperti yang kita ketahui sekarang ini. Kemudian para ulama mengumpulkan firman-firman Allah tersebut menjadi satu kitab agar tidak hilang dan supaya lebih mudah dalam mempelajarinya.

 Tujuan
Untuk mengetahui terjadinya proses Nuzulul Qur’an.
Untuk mengetahu sebab-sebab turunnya al-Qur’an.
Untuk mengetahui penulisan dan pengumpulan atau penertiban Al-qur’an.

PEMBAHASAN
 Menjelang turunnya al-qur’an
Sebelum nabi muhammad saw di utus di bumi ini dan turunnya al-Qur’an, Di belahandunia timur dan barat terdapat dua kerajaan adidaya yaitu Romawi dan Persia. Kerajaan romawi meliputi bagian barat yaitu Benua Amerika, Eropa, dan sebagian afrika termasuk Mesir. Sedangkan Kerajaan persia meliputi Iran, Irak, Afganistan. Kedua kerajaan ini mempunya kebudayaan yang berbeda . Romawi di dominasi Agama kristen, dan persia di dominasi budaya agama Zoroaster.Kedua kerajaan ini sangat kacau dan biadab. Masyarakat kerajaan Romawi suka berfoka-foya dan melakukan kekerasan. Demikian pula masyarakat persia muncul aliran mazdak di abad 5 yang menghalalkan harta benda dan wanita dengan bebas.
Jazirah arab, tempat nabi muhammad di lahirkan dan tempat alquran di turunkan. Daerah ini tidak pernah masuk dalam wilayah kekuasaan kedua kerajaan adidaya keduanya. Walaupun daerah ini selalu menjadi sasaran ekspansi keduanya, karena daerah ini jauh dari pusat kerajaan baik Romawi maupun Persia. Sehingga kebrorokan budaya kedua kerajaan tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap masyarakat baru, apalagi budaya nenek moyang mereka Ibrahim masih melekat dan sangat mereka cintai. Hal ini tergambar pada sikap mereka masih mencintai kejujuran dan keterbukaan menerima kebenaran. Ini adalah salah satu alasan atau hikmah kenapa al-Qur’an diturunkan di jazirah arab dimana terlihat bahwa wilayah ini merupakan lahan yang masih subur dan siap menerima al-Qur’an, dan disamping itu juga menurut Nasir Omar “ bahasa arab lebih mapan di banding bahasa lainnya di karenakan bahasa arab tidak mengalami banyak perubahan.
Seperti hal nya bahasa dalam Al-quran yang di turunkan ribuan tahun yang lalu menggunakan bahasa arab pula yang digunakan di jazirah arab saat ini terlihat tidak ada perbedaan. Sebelum al-qur’an di turunkan di tengah-tengah masyarakat arab terdapat budaya adat dan tradisi seperti sistem perkawinan hukuman atas pelaku kejahatan sistem waris dan kebiasaan dalam keluarga. Bahkan mereka juga menganut suatu sistem kepercayaan dan ibadah yang mereka warisi dari nenek moyang termasuk di antaranya hal-hal yang berasal dari nabi Ibrahim. Akan tetapi telah terjadi banyak penyimpangan dan perubahan. Al-qur’an turun merespon sistem kebudayaan dan kepercayaan tersebut iya meluruskan penyimpangan-penyimpangan, mengahapus tradisi yang tidak manusiawi, melakukan perubahan terhadap suatu sistem dan atau menerima suatu tradisi yang dianggap baik.

  Pengertian Nuzul Qur’an
Kata “Nuzul” berasal dari bahasa Arab “Nazala”, secara etimologis berarti turun, jatuh, keadaan turun, tinggal sementara dan hal yang menimpa. Sedangkan secara terminologis Nuzul adalah turunnya al-Qur’an pada nabi Muhammad SAW yang dibawa oleh malaikat Jibrik ke bumi.Al-Qur’an pada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a.s sebagaimanadi firmankan Allah dalam al-Qur’an surat Asy-Syu’araa’ ayat 193 sampai 195 yaitu:-Shaabuu
Artinya “Dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril a.s) kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi slah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.
Jika ditelusuri dengan cermat, penggunaan kata yang dipergunakan untuk menunjukkan turunnya al-Qur’an menggunakan kata nazzala (seperti Nazzala al-furqan) dan anzala (seperti anzalnahu fi lailat al-qadr). Kata anzala menunjukkan kepada makna bahwa al-Qur’an pernah diturunkan sekaligus dan terkait dengan ruang dan waktu, sedangkan nazzala menunjukan bahwa al-Qur’an turun secara berangsur-angsur.Oleh karena itu ulama klasik (salaf) hingga abad ke-3 H enggan memberikan pengertian yang sebenarnya yang berkaitan dengan nuzul-nya al-Qur’an. Ulama setelah Abad ke-3 H memahami nuzul al-Qur’an dengan pengertian ditampakkan atau diperkenalkannya al-Qur’an pada waktu dan tempat tertentu.
Ada juga pendapat yang memberikan alternatif dari problema tersebut dengan memberikan pengetian majazy dari kata nuzul diartikan penampakkan al-Qur’an ke pentas bumi pada waktu dan tempat tertentu. Menurut pandangan ini al-Qur’an bersifat qadim dalam pengertiannya sudah ada sebelum adanya tempat dan waktu, akan tetapi keberadaannya diwaktu itu belum diketahui atau belum hadir di bumi. Ketika al-Qur’an pertama kali diterima ketika itu pula al-Qur’an pertama kalinya menampakkan diri.
  Proses turunnya Al-Qur’an
Penyampaian Al-qur’an dari allah kepada Lawh al-mahfuzh. Maksud nya sebelum al-Qur’an di sampaikan kepada beliau sebagai utusan allah terhadap manusia, ia terlebih dahulu di sampaikan lawh al-mahfuzh yaitu suatu lembaran yang terpelihara dimana al-qur’an pertama kalinya ditulis pada lembara tersebut. Allah SWT menjelaskan sebagai berikut (QS Al-Buruj ayat 21-22).
Artinya “21. Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia,
22. yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh”
Al-qur’an sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui dua tahap :
1.Turunnya Al-Qur’an sekaligus
Turun nya al-qur’an ke langit pertama dengan sekaligus. Dilangit pertama itu ia disimpan pada bayt al-‘izzah. Penurunan tahap kedua ini berketepatan dengan malam Qodar. Seperti yang di jelaaskan pada beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya adalah:
Q.S Al-Qadar ayat 1
Artinya “1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan”
Q.S Adduhan ayat 3
Artinya “3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”
Dan Q.S al-baqoroh ayat 185.
Artinya “185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Adapun alasan mengapa Al-Qur’an diturunkan sekaligus karena memuliakan kedudukannya dan kedudukan orang yang di turunkan kepadanya kitab itu ( Muhammad ) juga mengumumkan kepada penghuni tujuh langit ( para malaikat ) bahwa kitab itu adalah kitab terakhir yang di sampaikan kepada rosul terakhir untuk umat yang palimg mulia ( Umat Muhammad ).
2. Turunnya Al-Qur’an Bertahap
Turunnya al-qur’an dari bayt al-‘izzah secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad SAW melalui jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari atau selama 23 tahun.
Adapun Hikmah turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur antara lain :
Menetapkan atau menguiatkan hati Nabi Muhammad SAW dengan turunnya al-qur’an secara berangsur-angsur berarti Nabi akan selalu berjumpa dengan jibril dan menerima al-qur’an, hal ini akan berpengaruh pada Nabi dalam menyampaikan risalah ilahi.
Berangsur-angsur dalam mendidik umat, yang sedang tumbuh dalam menankan ilmu dan amal untuk mempermudah para sahabat dalam memahami dan menghafal serta mengamalkan setiap ayat yang diturunkan.
Menyesuaikan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu, karena akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga umat islam benar-benar merasakan betapa butuhnya mereka terhadap Al-Qur’an dan berguna untuk menjawab pertanyaan para sahabat secara langsung dengan wahyu yang diturunkan.
Memberi isyarat nyata kepada musuh-musuh islam bahawa al-Qur’an adalah kalam Allah bukan perkataan Nabi.
 Cara Penyampaian Al-Quran
Cara penyampaian Al-Quran oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Ada beberapa cara yaitu :
Penyampaian risalah secara langsung oleh Allah kepada Nabi. Nabi tidak melihat allah tetapi dia dapat menerima hidayah atau risalah itu.
Penyampaian risalah melelui perantaan malaikat yang terbagi menjadi empat cara yakni :
Malaikat menyampaikan ke dalam hati nabi, dimana nabi tidak dapat melihatnya.
Malaikat datang kepada nabi berupa bunyi bel. Hal ini sangat susah bagi nabi sehingga dia berkeringat walaupun pada cuaca dingin
Malaikat datang kepada nabi seperti seorang laki-laki yang menyampaikan misi ilahiyah tersebut.
Malaikat datang kepada nabi dalam bentuk bentuk aslinya sebagai malaikat. Kemudian menyampaikan misi ilahiyah
Walaupun nabi itu seorang manusia biasa, tetapi dia bisa berjumpa dengan malaikat jibril sebagai seorang malaikat. Dan dia juga dapat pula menerima bisikan atau pengajaran dari Allah Swt, karena para nabi tersebut telah di persiapkan untuk hal tersebut.
  Periode penurunan Al-Qur’an
Klasifikasi tahap penurunan al-qur’an didasarkan atas penyampain al-qur’an dari allah terhadap nabi Muhammad SAW apabila klasifikasi tersebut didasarkan atas periode peyampaian dakwah islam dan penanaman serta pertumbuhan ajaran islam maka penurunan al-Qur’an dapat diklasifikasikan kepada periode Mekah dan Madinah.Adapun Al Makkiah adalah Kelompok surat yang di turunkan sebelum nabi hijrah. Sedangkan Al Madaniah adalah kelompok surat yang di turunkan setelah nabi hijrah.
Peride mekah berlangsung kurang lebih 13 tahun dan peride Madinah kurang lebih 10 tahun. Jumlah surat yang diturunkan pada peride mekah berjumlah 86 surat sedangkan pada periode madinah berjumlah 28 surat. Perbedaan dua periode ini ditandai dengan perjalanan dakwah islam oleh rasul yaitu yang terdiri dari sebelum hijrah yang di sebut dalam periode mekah dan setelah hijrah disebut dengan peride madinah. Seperti yang telah digambarkan diatas bahwa al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur hal ini pernah mendapat ejekan dan kritikdari kaum kafir. Mereka mempertanyakan kenapa al-qur’an tidak diturunkan sekaligus karena kitab sebelum Al-Qur’an diturunkan sekaligus seperti Taurat( Musa), Injil 9Isa), dan Zabur (daud). Maka al-qur’an menjawab pertanyaan tersebut dengan firman Allah QS al-Furqon ayat 32.
Sedangkan perbedaan antara al Makkiyah dan Al Madaniah yaitu :
Ciri-ciri Makkiyah :
1.Setiap surat mengandung Lafal kalla (كل ) yang terulang sebanyak 33 kali dalam 15 surah.
2.Setiap surat yang terdapat ayat sajadah
3.Setiap surat yang di mulai dengan huruf muqantha’ah kecuali Al Baqarah, al I mron dan Ar-ra’d
4.Setiap surat yang terdapat kisah adam dan hawa kecuali Al baqarah
Ciri-ciri Madaniyah :
1.Umumnya berbicara tentang syara’, undang-undang sipil, kriminal, jihad, damai, peperangan, hukum waris, hak-hak individu, ekonomi dan sosial.
2.Berbicara tentang orang munafik, akhlak, dan perilaku mereka.
3.Perdebatan dengan akhlul kitab tentang akidah mereka.I.I Latar Belakang
Satu-satunya kitab suci yang murni berisikan perintah Allah adalah al-Qur’an.Kitab suci umat Islam yang diwahyukan kepada nabi besar Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umatnya, sebagai pedoman hidup supaya tidak salah langkah dalam menitih kehidupan di dunia dan sebagai pedoman dalam mencari bekal untuk kehidupan di akhirat yang kekal.
Dalam sejarahnya, firman Allah yang terkumpul didalam al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dengan waktu, dan tempat yang berbeda-beda. Sehingga al-Qur’an di zaman dahulu tidak berbentuk kitab atau buku seperti yang kita ketahui sekarang ini. Kemudian para ulama mengumpulkan firman-firman Allah tersebut menjadi satu kitab agar tidak hilang dan supaya lebih mudah dalam mempelajarinya.

Hikmah diturunkan Al-Qur’an secara bertahap :
1.      Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan. Orang akan enggan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dari riwayat Aisyah ra.
2.      Diantara ayat-ayat tersebut ada yang nasikh dan mansukh
3.      Turunnya suatu ayat sesuai dengan peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4.      Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menyakan mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Furqan : 32
5.      Diantara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban dari pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagaimana dikatakan oleh ibnu Abbas ra. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al-Qur’an diturunkan sekaligus.

Ulama berbeda pendapat mengenai ayat yang pertama diturunkan. Pendapat pertama yang shahih menurut Assuyuti adalah ayat pertama surat al ‘alaq,
[1]اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ

Berdasarkana hadits yang diriwayatkan oleh syaikhani, dan yang lain.Aisyah r.a. berkata, "yang pertama (dari wahyu) kepada Rasulullah saw. adalah mimpi yang baik di dalam tidur. Beliau tidak pernah bermimpi melainkan akan menjadi kenyataan seperti merekahnya cahaya subuh. Kemudian beliau gemar bersunyi. Beliau sering bersunyi di Gua Hira. Beliau beribadah di sana, yakni beribadah beberapa malam sebelum rindu kepada keluarga beliau, dan mengambil bekal untuk itu. Kemudian beliau pulang kepada Khadijah. Beliau mengambil bekal seperti biasanya sehingga datanglah kepadanya (dalam riwayat lain disebutkan: maka datanglah kepadanya) kebenaran. Ketika beliau ada di Gua Hira, datanglah malaikat seraya berkata, 'Bacalah!' Beliau berkata, 'Sungguh saya tidak dapat membaca. Ia mengambil dan mendekap saya sehingga saya lelah. Kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, 'Sungguh saya tidak dapat membaca:' Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang kedua kalinya, kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, 'Sungguh saya tidak bisa membaca' Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang ketiga kalinya, kemudian ia melepaskan saya. Lalu ia membacakan, "Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq. Khalaqal insaana min'alaq. Iqra' warabbukal akram. Alladzii 'allama bil qalam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam. 'Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Lalu Rasulullah saw. pulang dengan membawa ayat itu dengan perasaan hati yang goncang (dalam satu riwayat: dengan tubuh gemetar).[2]

Pendapat kedua, yang pertama kali turun adalah firman Allah :
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Syaikhani : Dari Abu salamah bin Abdurrahman; dia berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin Abdullah: Yang manakah diantara Quran itu yang turun pertama kali? Dia menjawab: Ya Ayyuhal Mudatsir. Aku bertanya lagi: ataukah Iqra bismi rabbik? Dia menjawab: aku katakana kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah saw kepada kami: “sesungguhnnya aku berddiam diri di gua Hira, maka ketika habis maasa diamku, aku tuun lalu aku telusuri lembah. Aku lihat ke muka, ke belakang, ke kanan dan ke kiri. Lalu aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat jibril yang amat menakutkan. Maka aku pulang ke khadijah, khadijah memerintahkan mereka untuk menyelimutiku. Merekapun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan : ‘Wahai orang yang berselimut; bangkitlah, lalu berilah peringatan.’ ”[3]

Mengenai pendapat kedua ini, Jabir menjelaskan bahwa yang pertama kali turun secara penuh adalah surat al-Mudatsir, sebelum surat Al-‘Alaq tuntas diturunkan. Dan surat Al-mudatsir turun setelah sekian lama wahyu terhenti turunnya. Jadi bisa kita ambil kesimpulan bahwa ayat yang pertama turun adalah Iqra dan surat yang pertama turun untuk risalah adalah Al-mudatsir.



[1] Jalaaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’I, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 1425-1426 H) h. 33
[2] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari (e.book: haditsWeb 3.0)
[3] Manna’ Khalil al-Qattan, Terjemahan Drs. Mudzakkir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2004) Cet. 8, h. 90-91

Adapun tahap tahap turunya al-qur’an ada 3 tahap, yaitu[1] :

1. Tahap pertama ( At-Tanazzulul Awwalu ), Al-Qur’an diturunkan atau ditempatkan di Lauh Mahfudh, yakni suatu tempat di mana manusia tidak bisa mengetahuinya secara pasti. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-Buruj : 21-22.
Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.
Penjelasan mengenai sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di Lauh Mahfudh, dan bagaimana caranya adalah merupakan hal-hal gaib yang menjadi bagian keimanan dan tidak ada yang mampu mengetahuinya selain dari Allah swt. Dalam konteks ini Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus maupun secara keseluruhan. Hal ini di dasarkan pada dua argumentasi.

Pertama: Karena lahirnya nash pada ayat 21-22 surah al-Buruj tersebut tidak menunjukkan arti berangsur-angsur. Kedua: karena rahasia/hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tidak cocok untuk tanazul tahap pertama tersebut. Dengan demikian turunnnya Al-Qur’an pada tahap awal, yaitu di Lauh Fahfudz dapat dikatakan secara sekaligus dan tidak berangsur-angsur.

2. Tahap kedua (At-Tanazzulu Ats-Tsani), Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul `Izzah di Sama’ al-Dunya (langit dunia), yakni setelah Al-Qur’an berada di Lauh Mahfudh, kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul `Izzah di langit dunia atau langit terdekat dengan bumi ini. Banyak isyarat maupun penjelasannya dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW. antara lain sebagai berikut dalam Surat Ad-Dukhan ayat 1-6 :
Artinya: Ha-Mim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Ad-Dukhan 1-6).
Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw bersabda: Al-Qur’an itu dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, kemudian mulailah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.

Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit selama duapuluh tahun.

3. Tahap ketiga (At-Tanazzulu Ats-tsaalistu), Al-Qur’an turun dari Baitul-Izzah di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad SAW., yakni setelah wahyu Kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkan ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian pada tahap ketiga Al-Qur’an disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad saw dengan melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini antara lain tersebut dalam QS Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan :32 sebagai berikut:
Artinya : Ia (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan (Asy-Syu`ara’: 193-194).
Artinya : Berkatalah orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. Demikianlah supaya Kami perbuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkan) dan membacakannya kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).

.     Pengertian Jam’ul Qur’an

Kata al-Jam’u berasal dari kata ”Jama’a – Yajma’u _ Jam’an” yang berarti pengumpulan atau penghimpunan.[3] Adapun makna al-Qur’an menurut bahasa, kata qur’an adalah bentuk masdar (kata benda verbal) dari qara’a yang berarti membaca, baik membaca dengan melihat tulisan ataupun secara menghafal.[4] Jadi Jam’ul Qur’an berarti upaya mengumpulkan al-Quran yang berserakan untuk diteliti dan diselidiki.
Manna’ al-Qattan membagi pengertian Jam’ul Qur’an ke dalam dua bagian yaitu:
1.      Jam’ul Qur’an dalam arti hifzuhu(menghafalnya dalam hati). Inilah  makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi. Nabi senantiasa menggerak;gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca al-Qur’an ketika diturunkan kepadanya.
2.      Jam’ul Qur’an dalam arti kitabuhu kullihi(penulisan al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam suatu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya, sebagian ditulis sesudah bagian yang lain.[5]
Sebagian besar literature yang membahas tentang ilmu-ilmu al-Qur’an menjelaskan bahwa Jam’ul Qur’an meliputi  proses penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga menjadi mushaf al-Qur’an.

Jadi pengertian Jam’ul-Qur`ân adalah pengumpulan al-Qur`an. Maknanya mencakup dua pengertian, seiring dengan prosesnya itu sendiri, yakni hifzhuhu; penghafalan dan kitâbatuhu kullihi; penulisannya secara keseluruhan.[1]  As-Shabuniy membahasakannya  al-jam’ fis-shudûr; pengumpulan dalam dada dan  al-jam’ fis-suthûr; pengumpulan dalam tulisan[2]

Di sini kita perlu memperhatikan penggunaan kata ‘pengumpulan' bukan ‘penulisan'. Dalam komentarnya, al-Khattabi menyebut, "Catatan ini memberi isyarat akan kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas tersendiri. Sebenarnya, Kitab Al-Qur'an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun."[3]  Penyusunan Al-Qur'an dalam satu jilid utama (master volume) boleh jadi merupakan satu tantangan karena nasikh mansukh yang muncul kemudian dan perubahan ketentuan hukum maupun kata-kata dalam ayat tertentu memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat. Hilangnya satu format halaman akan sangat merendahkan penyertaan ayat-ayat yang baru serta surahnya karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat sebelum Nabi Muhammad wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad berarti wahyu ber­akhir untuk selamanya. Tidak akan terdapat ayat lain, perubahan hukum, serta penyusunan ulang. Ini berarti kondisi itu telah mapan dalam waktu yang tepat guna memulai penyatuan Al-Qur'an ke dalam satu jilid. Tidak ada keraguan yang dirasakan dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan dan bahkan telah memaksa masyarakat mempercepat pelaksanaan tugas ini. Allah swt. memberi bimbingan para sahabat dalam memberi pelayanan terhadap Al­Qur'an sebagaimana mestinya memenuhi janji pemeliharaan ' selamanya terhadap Kitab-Nya,[4]
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”

Ibn Hajar al-’Asqalaniy sedikit berbeda memaknai Jam’ul-Qur`ân. Menurutnya, walaupun al-jam’ bisa bermakna al-hifzh, tapi dalam kaitannya dengan proses pengumpulan al-Qur`an, maknanya menjadi khusus, yakni mengumpulkan al-Qur`an ke dalam shuhuf di zaman Abu Bakar dan mengumpulkannya kembali ke dalam mushhaf di zaman ‘Utsman. Hal ini didasarkan pada tarjamah al-Bukhariy dalam kitabnya, al-Jâmi’ as-Shahîh, ditambah sebuah pernyataan Zaid ibn Tsabit: "Saat Nabi Muhammad wafat, Al-Qur'an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku."[5]

Sebagaimana di atas, proses Jam’ul-Qur`ân di masa Nabi Saw mencakup dua kegiatan, yaitu penghafalan dan penulisan. Kegiatan penghafalan itu terdapat dalam hadits berikut ini:

Dari Ibn ‘Abbas perihal firman Allah Ta’ala “Janganlah kau menggerakkan lisanmu karena tergesa-gesa”: Rasulullah Saw merasa berat ketika turun wahyu sampai beliau menggerak-gerakkan kedua bibirnya. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kau gerak-gerakkan lisanmu karena tergesa-gesa. Sesungguhnya tangung jawab kami mengumpulkannya dan membacakannya.” Ibn ‘Abbas berkata: Yaitu mengumpulkannya dalam dadamu dan kau mampu membacanya. “Maka apabila Kami membacakannya, maka ikutilah bacaannya.” Yaitu perhatikanlah dan diamlah. “Kemudian sesungguhnya tanggung jawab kami menjelaskannya.” Yaitu, sesungguhnya tanggung jawab kami kau dapat membacakannya. Maka Rasul Saw setelah itu apabila Jibril datang kepadanya, beliau menyimaknya. Dan apabila Jibril telah pergi, Nabi Saw membacakannya sebagaimana Jibril membacakannya[6]

Jelas sekali dalam riwayat tersebut jam’ bermakna hafalan. Dan Nabi Saw melakukannya dengan jaminan penuh dari Allah Swt akan keakuratannya. Selain itu, Nabi Saw juga menggiatkan para shahabat untuk bisa membaca al-Qur`an di luar kepala.



[1] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur`an, (Riyadl : Mansyurat al-’Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M), h. 118-119
[2] Muhammad ‘Aliy as-Shabuniy, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur`an, (Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1405 H/1985 M), h. 49
[3] Jalaaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’I, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 1425-1426 H) h. 164
[4] Prof. Dr. M. M A’zami, The History of The Quranic Text from revelation to compilation, (ebook: UNIVERSITAS ISLAM INTERNATIONAL MALAYSIA (UIIM), 2005)
[5] Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar al-’Asqalaniy, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhariy, (ebook,Beirut : Dar al-Fikr, 1420 H/2000 M), Jilid 10, h. 13
[6] Ibnu Hajar Al-Atsqalani, terjemahan Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari, (Jakarta selatan : Pustaka Azzam, 2002) h. 47
 
Jam’ul-Qur`ân artinya pengumpulan al-Qur`an. Maknanya mencakup dua pengertian, seiring dengan prosesnya itu sendiri, yakni hifzhuhu; penghafalan dan kitâbatuhu kullihi; penulisannya secara keseluruhan.[1]  As-Shabuniy membahasakannya  al-jam’ fis-shudûr; pengumpulan dalam dada dan  al-jam’ fis-suthûr; pengumpulan dalam tulisan[2]

Di sini kita perlu memperhatikan penggunaan kata ‘pengumpulan' bukan ‘penulisan'. Dalam komentarnya, al-Khattabi menyebut, "Catatan ini memberi isyarat akan kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas tersendiri. Sebenarnya, Kitab Al-Qur'an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun."[3]  Penyusunan Al-Qur'an dalam satu jilid utama (master volume) boleh jadi merupakan satu tantangan karena nasikh mansukh yang muncul kemudian dan perubahan ketentuan hukum maupun kata-kata dalam ayat tertentu memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat. Hilangnya satu format halaman akan sangat merendahkan penyertaan ayat-ayat yang baru serta surahnya karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat sebelum Nabi Muhammad wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad berarti wahyu ber­akhir untuk selamanya. Tidak akan terdapat ayat lain, perubahan hukum, serta penyusunan ulang. Ini berarti kondisi itu telah mapan dalam waktu yang tepat guna memulai penyatuan Al-Qur'an ke dalam satu jilid. Tidak ada keraguan yang dirasakan dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan dan bahkan telah memaksa masyarakat mempercepat pelaksanaan tugas ini. Allah swt. memberi bimbingan para sahabat dalam memberi pelayanan terhadap Al­Qur'an sebagaimana mestinya memenuhi janji pemeliharaan ' selamanya terhadap Kitab-Nya,[4]
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”

Ibn Hajar al-’Asqalaniy sedikit berbeda memaknai Jam’ul-Qur`ân. Menurutnya, walaupun al-jam’ bisa bermakna al-hifzh, tapi dalam kaitannya dengan proses pengumpulan al-Qur`an, maknanya menjadi khusus, yakni mengumpulkan al-Qur`an ke dalam shuhuf di zaman Abu Bakar dan mengumpulkannya kembali ke dalam mushhaf di zaman ‘Utsman. Hal ini didasarkan pada tarjamah al-Bukhariy dalam kitabnya, al-Jâmi’ as-Shahîh, ditambah sebuah pernyataan Zaid ibn Tsabit: "Saat Nabi Muhammad wafat, Al-Qur'an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku."[5]

Sebagaimana di atas, proses Jam’ul-Qur`ân di masa Nabi Saw mencakup dua kegiatan, yaitu penghafalan dan penulisan. Kegiatan penghafalan itu terdapat dalam hadits berikut ini:

Dari Ibn ‘Abbas perihal firman Allah Ta’ala “Janganlah kau menggerakkan lisanmu karena tergesa-gesa”: Rasulullah Saw merasa berat ketika turun wahyu sampai beliau menggerak-gerakkan kedua bibirnya. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kau gerak-gerakkan lisanmu karena tergesa-gesa. Sesungguhnya tangung jawab kami mengumpulkannya dan membacakannya.” Ibn ‘Abbas berkata: Yaitu mengumpulkannya dalam dadamu dan kau mampu membacanya. “Maka apabila Kami membacakannya, maka ikutilah bacaannya.” Yaitu perhatikanlah dan diamlah. “Kemudian sesungguhnya tanggung jawab kami menjelaskannya.” Yaitu, sesungguhnya tanggung jawab kami kau dapat membacakannya. Maka Rasul Saw setelah itu apabila Jibril datang kepadanya, beliau menyimaknya. Dan apabila Jibril telah pergi, Nabi Saw membacakannya sebagaimana Jibril membacakannya[6]

Jelas sekali dalam riwayat tersebut jam’ bermakna hafalan. Dan Nabi Saw melakukannya dengan jaminan penuh dari Allah Swt akan keakuratannya. Selain itu, Nabi Saw juga menggiatkan para shahabat untuk bisa membaca al-Qur`an di luar kepala.



[1] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur`an, (Riyadl : Mansyurat al-’Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M), h. 118-119
[2] Muhammad ‘Aliy as-Shabuniy, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur`an, (Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1405 H/1985 M), h. 49
[3] Jalaaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’I, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 1425-1426 H) h. 164
[4] Prof. Dr. M. M A’zami, The History of The Quranic Text from revelation to compilation, (ebook: UNIVERSITAS ISLAM INTERNATIONAL MALAYSIA (UIIM), 2005)
[5] Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar al-’Asqalaniy, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhariy, (ebook,Beirut : Dar al-Fikr, 1420 H/2000 M), Jilid 10, h. 13
[6] Ibnu Hajar Al-Atsqalani, terjemahan Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari, (Jakarta selatan : Pustaka Azzam, 2002) h. 47

B.     Pengumpulan al-Qur’an pada Masa Nabi

Kodifikasi atau pengumpulan al-Qur’an telah dimulai sejak zaman Rasulullah saw, bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya al-Qur’an. Sebagaimana diketahui, al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, hal ini disesuaikan dengan keadaan Rasulullah dan agar lebih mudah untuk menghafalnya baik oleh Nabi maupun para sahabat.
Pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an di masa Nabi saw terbagi atas dua kategori:
1.             Pengumpulan al-Qur’an dalam dada.
                   Al- Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw, di mana beliau dikenal seorang ummi(tidak dapat membaca dan menulis). Oleh karenanya setiap ayat al-Qur’an diturunkan, beliau hanya menghafal dan menghayatainya agar penguasaannya terhadap al-Qur’an persis sebagaimana aslinya. Dan setelah itu, beliau membacakannya kepada sahabat dan ummatnya sejelas mungkin dan memerintahkan kepada mereka untuk dapat menghafal dan memantapkannya[6]. Hal ini persis dengan janji Allah dalam QS. Al-Qiyamah (75):16-19.

Artinya:  Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.[7]

Para sahabat langsung menghafal al- Qur’an tersebut di luar kepala  setiap kali Rasulullah saw menyampaikan wahyu kepada mereka. Hal ini bisa mereka lakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur(budaya) orang Arab yang menjaga peninggalan nenek moyang mereka dengan cara hafalan.
Manna’al-Qattan mengutip hadits dari  kitab Shahih Bukhari tentang tujuh hafidz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muas bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.[8]
2.       Pemeliharaan al- Qur’an dengan tulisan
Walaupun Nabi Muhammad saw dan para sahabat menghafal ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu Ilahi beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan.
Sejarah menginformasikan bahwa setiap ayat yang turun Rasulullah memanggil sahabat sahabat yang dikenal pandai menulis. Rasulullah mengangkat beberapa penulis wahyu seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan di mana tempat ayat tersebut dalam surat. Ayat- ayat Al-Qur’an mereka tulis  pada pelepah kurma, lempengan batu, kulit dan tulang binatang[9].
Tulisan-tulisan al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf. Biasanya yang ada ditangan seorang sahabat misalnya belum tentu dimiliki olehn yang lainnya. Menurut para ulama, di antara sahabat yang menghafal seluruh isi al-Qur’an ketika Rasulullah masih hidup adalah Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Mas’ud.[10]
Al–Zarqani menyebutkan dalam kitabnya Manahil al-Irfan bahwasanya faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga al-Qur’an tidak dibukukan pada masa Nabi adalah sebagai berikut:
a.       Sarana tulis menulis pada waktu itu sangat minim dan sangat susah mendapatkannya.
b.      Nabi senantiasa menunggu kontinius wahyu karena adanya ayat-ayat yang dinasakh setelah diturunkannya.
c.       Ayat-ayat tidak diturunkan sekaligus
d.      Ayat-ayat al-Qur’an turun pada umumnya sebagai jawaban dari suatu pertanyaan atau kondisi masyarakat sehingga tidak turun dalam keadaan tersusun ayatnya.[11]
Dengan melihat penjelasan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa sejak zaman Rasulullah telah terjadi pengumpulan al-Qur’an walaupun tulisan tersebut belum dalam bentuk mushaf seperti sekarang, tetapi ini cukup menjadi bukti bahwa sudah ada penulisan al-Qur’an pada saat itu.      

1.      Faktor-faktor pendorong jam’u Al-Qur’an pada masa Nabi
Pada masa nabi Muhammad saw jam’u Al-Qur’an belum sepenuhnya didasari oleh kesadaran umat atau sahabat untuk mengkodifikasikan Al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh keberadaan nabi itu sendiri di tengah umatnya. Sehingga setiap persoalan yang dihadapi selalu bisa ditemukan solusinya lansung kepada rasulullah. Bisa dikatakan jam’u Al-Qur’an di masa Nabi tersebut merupakan perintah lansung dari nabi Muhammad saw, baik penghafalan maupun penulisan. Hal ini tidak terlepaas dari firman Allah
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ





 

Penbukaan -Pembukaan Surah

Pengertian Fawatih Al-Suwar Dilihat dari segi bahasa ” fawatih” adalah jamak dari kata “faith”, yang lughawi artinya pembuka. Sedangkan ka...